Contoh Hukum Positif Indonesia
1. Pengertian Hukum Positif
Hukum positif dalam hilisan ini adalah Hukum Positif Indonesia. Dan yang
diartikan sebagai hukum positif adalah: "kumpulan asas dan kaidah hukum
tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan
mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui
pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia." Penekanan "pada saat
ini sedang berlaku," karena secara keilmuan rechtwefenschap, pengertian
hukum positif diperluas. Bukan saja yang sedang berlaku sekarang,
melainkan termasuk juga hukum yang pernah berlaku dimasa lalu. Perluasan
ini timbul karena dalam definisi keilmuan mengenai hukum positif
dimasukkan unsur "berlaku pada waktu tertenh dan tempat tertentu." Hukum
yang pernah berlaku, adalah juga hukum yang berlaku pada waktu tertentu
dan tempat tertentu, sehingga termasuk pengertian hukum positif,
walaupun dimasa lalu. Memasukkan hukum yang pernah berlaku sebagai hukum
positif dapat pula dikaitkan dengan pengertian keilmuan yang membedakan
antara ius constitutum dan ius constituendum. Ius constituendum lazim
didefinisikan sebagai hukum yang diinginkan atau yang dicita-citakan,
yaitu "hukum" yang telah didapati dalam rumusan-rumusan hukum tetapi
belum berlaku: Berbagai rancangan peraturan perundang-undangan (RUU,
RPP, R.Perda, dan lain-lain rancangan peraturan) adalah contoh-contoh
dari ius constituendum. Termasuk juga ius constituendum adalah peraturan
perundang-undangan yang telah ditetapkan tetapi belum berlaku:
Misalnya, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara telah menjadi Undang-Undang pada tahun 1986, tetapi baru
dijalankan lima tahun kemudian (1991). Selama lima tahun tersebut,
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 merupakan ius constituendum. Pada suatu
ketika didapati berbagai rancangan perubahan Undang-Undang Dasar yang
telah di susun PAH I MPR, merupakan ius constituendum yang diharapkan
suatu ketika ditetapkan sebagai ius constitution. Dipihak lain ada ius
constitution yaitu hukum yang berlaku atau disebut hukum positif. Hukum
yang pernah berlaku adalah ius constitution walaupun tidak berlaku lagi,
karena tidak mungkin dimasukkan sebagai ius constituendum. Dalam kajian
ini, hukum positif diartikan sebagai aturan hukum yang sedang berlaku
atau sedang berjalan, tidak termasuk aturan hukum di masa lalu .
Selain unsur "pada saat ini sedang berlaku," didapati pula unsur-unsur lain dari hukum positif, yaitu:
a. Hukum Positif "mengikat secara umum atau khusus."
Mengikat secara umum adalah aturan hukurn yang berlaku umum yaitu
peraturan perundang-undangan (UUD, UU, PP, Peraturan Daerah), hukurn
adat, hukum yurisprudensi, dan hukum agama yang dijadikan atau diakui
sebagai hukum positif seperti hukurn perkawinan agama (UU No. l Tahun
1974). Khusus bagi yang beragama Islam ditambah dengan hukum waris,
wakaf, dan beberapa bidang hukum lainnya (UU No. 7 Tahun 1989), Mengikat
secara khusus, adalah hukurn yang mengikat subyek tertentu atau obyek
tertentu saja yaitu yang secara keilmuan (Ilmu Hukum Administrasi Negara) dinamakan beschikkivg.
Termasuk juga Keputusan Presiden (sebagai Kepala Negara) yang menetapkan
pengangkatan atau pemberhentian pejabat-pejabat alat kelengkapan negara
(DPA, BPK, MA) , Selanjutnya, hukum khusus termasuk juga Ketetapan MPR
mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Berbagai keputusan konkrit ini
dimasukkan juga sebagai hukum positif karena mengikat. Secara langsung
mengikat yang bersangkutan. Secara tidak langsung mengikat pula pihak
lain. Bagi pihak lain, berbagai keputusan konkrit yang secara tidak
langsung mengikat menjadi semacam spiegelrecht. Pengangkatan seseorang
menjadi Bupati, memberikan hak dan wewenang kepada yang bersangkutan
untuk membuat berbagai keputusan yang mengikat, hak atas gaji, dan lain
sebagainya. Keputusan konkrit ini dijalankan atau ditegakkan oleh
pemerintah atau pengadilan. Dapat pula dimasukkan kedalam hukum positif
yang khusus adalah hukum yang lahir dari suatu perjanjian. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW) didapati asas bahwa suatu perjanjian
yang dibuat sesuai dengan undang-undang, merupakan undang-undang bagi
pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut (Pasal 1338) Karena
mempunyai kekuatan sebagai undang-undang walaupun hanya untuk
pihak-pihak apabila ada perselisihan atau sengketa, ketentuan-ketentuan
dalam perjanjian tersebut dapat ditegakkan melalui pengadilan atau
cara-cara lain yang mempunyai kekuatan mengikat seperti putusan di luar
pengadilan (arbitrase, mediasi, dan lain-lain). Perjanjian, merupakan
hukum positif" bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
b. Hukum positif "ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan."
Manusia hidup dan diatur, serta tunduk pada berbagai aturan. Selain
aturan umum atau khusus yang telah disebutkan diatas, manusia juga
diatur dan tunduk pada aturan adat-istiadat (hukum kebiasaan), hukum
agama (sepanjang belum menjadi hukum positif), hukum moral. Hukum
kebiasaan, hukum agama, hukum moral mempunyai daya ikat yang kuat bagi
seseorang atau suatu kelompok tertentu. Jadi merupakan hukum bagi
mereka, tetapi tidak merupakan (bukan) hukum positif. Ketaatan terhadap
hukum kebiasaan, hukum agama, atau hukum moral tergantung pada sikap
orang perorangan dan sikap kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Negara, dalam hal ini pemerintah dan pengadilan tidak mempunyai
kewajiban hukum untuk mempertahankan atau menegakkan hukum tersebut.
Tetapi tidak berarti hukum kebiasaan, hukum agama, atau hukum moral
tidak berpehtang mempunyai kekuatan sebagai hukum positif.
Pertama; seperti sepintas telah disebutkan, sebagian hukum agama telah
menjadi hukum positif melalui peraturan perundang-undangan. Hal yang
sama dapat terjadi pada hukum kebiasaan, dan hukum moral.
Kedua; melalui pengadilan. Dalam penerapan hukum, didapat asas bahwa
penerapan aturan hukum (positif), tidak boleh bertentangan dengan atau
wajib memperhatikan kepatutan rechtsvaardigheid, keadilan billijkheid
ketertiban umum openbare orde, atau kepentingan umum algemeen belang.
Apabila penerapan suatu aturan hukum akan bertentangan dengan kepatutan
(umum atau individual), hakim wajib mempertimbangkan hal-hal seperti
hukum atau kebiasaaan yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar
kepatutan dan keadilan. Dengan cara ini, terjadilah transformasi hukum
kebiasaan, hukum agama, menjadi hukum positif dalam bentuk hukum
yurisprudensi.
Hukum positif ditegakkan atau dipertahankan oleh atau melalui pemerintah
atau pengadilan. Ciri ini menimbulkan paham bahwa hukum positif adalah
aturan hukum yang mempunyai sifat memaksa. Hukum (positif) menurut ciri
Kelsen adalah a coercive order atau suatu "tatanan yang memaksa."
Paksaan merupakan salah satu bentuk sanksi yaitu perampasan atau
perenggutan secara paksa diluar kemauan yang terkena terhadap segala
sesuatu yang dimiliki seperti nyawa, kebebasan atau harta benda.
Meskipun sanksi diakui Kelsen sebagai unsur aturan hukum (positif),
tetapi tidak dianggapnya sebagai ciri atau karakteristik hukum
(positif). Menurut Kelsen semua tatanan sosial mempunyai sanksi, dan
sanksi tidak hanya berupa hukuman (punishment), tetapi dapat juga berupa
ganjaran (reward) .
Pandangan Kelsen mengenai kedudukan sanksi sebagai karakteristik hukum
(positif) agak berbeda dengan Bentham, yang menganggap sanksi sebagai
motivasi mendorong agar hukum ditaati. Walaupun demikian, Bentham
mengakui tatanan sosial lainnya juga mempunyai sanksi. Sanksi-sanksi ini
dapat pula mendorong ketaatan pada aturan hukum (positif). Sama dengan
Kelsen, Bentham juga membedakan antara corercive sanction dan alluring
sanction (atau yang disebut Kelsen sebagai (reward).
Berbeda dengan John Austin yang mengartikan sanksi semata-mata sebagai
suatu bentuk membebankan penderitaan (punishment bukan reward) .
Memberikan "sanksi" sebagai karakteristik aturan hukum (positif), tidak sesuai dengan kenyataan:
Pertama; seperti diakui Bentham dan Kelsen, tatanan sosial selain aturan
hukum (positif) juga mengandung sanksi. Perbedaannya hanya pada
pengenaan sanksi dan cara penindakannya. Pada tatanan sosial di luar
aturan hukum (positif), sanksi tidak berupa perampasan secara langsung
atas nyawa, kebebasan, atau harta benda, melainkan dalam bentuk sanksi
sosial (misalnya, diasingkan dari pergaulan) atau sanksi moral seperti
dicap sebagai orang tidak baik. Dalam hal hukum agama, sanksi itu berupa
keyakinan yang dapat dikenakan di dunia (seperti musibah) atau
diakhirat kelak (ditempatkan dalam api neraka).
Kedua; banyak sekali aturan hukum (positif) yang tidak mencantumkan
suatu sanksi atau sifat memaksa tertentu atau suatu akibat hukum
tertentu. Misalnya kaidah-kaidah hukum tata negara. Tidak ada kaidah
hukum tata negara yang memuat sanksi. Memperhatikan kenyataan dan sifat
aturan hukum tersebut, ilmu hukum membedakan antara hukum yang memuat
aturan hukum memaksa (dwirigeridrecht), dan yang semata-mata memuat
aturan yang mengatur (regelendrecht).
Dwingenrecht, disebut juga imperatiefrechf, atau normatiefrecht, adalah
aturan hukum yang tidak dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak, baik
melalui suatu perbuatan tertentu atau melalui suatu perjanjian .
Prof. PJ.P.Take merumuskan dwifigendrecht adalah ketentuan yang tidak
dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang melakukan suatu hubungan
hukum. Aturan hukum yang tidak dapat dikesampingkan pada umumnya adalah
aturan hukum yang bersifat perlindungan terhadap ketidaktahuan, atau
kelalaian, atau menghadapi overmacht dari pihak lain, dan ketentuan yang
berkaitan dengan ketertiban umum (openbare orde) dan atau kesusilaan
(goede zeden). Suatu hubungan hukum atau perbuatan hukum yang
bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan diancam batal
demi hukum. Aturan hukum (positif) di bidang ketenagakerjaan
(arbeidsrecht) dan sewa-menyewa (huursrecht) dalam KUHPerdata (BW)
banyak memuat ketentuan yang mempunyai sifat memaksa (tidak dapat
dikesampingkan).
Regelendrecht; disebut juga anvullenrecht, atau dispositiefrecht, adalah
aturan hukum yang dapat dikesampingkan pihak-pihak yang melakukan
hubungan hukum, atau suatu perjanjian. Dengan perkataan lain, terhadap
aturan hukum yang termasuk regelendrecht, pihak-pihak bebas mengatur
dengan cara lain atau berbeda, baik dalam bentuk menyimpangi atau berupa
tambahan dari aturan hukum yang ada. Dalam hal dan makna inilah yang
dimaksud den-an asas kebebasan berkontrak, sepanjang tidak menyimpangi
asas dan aturan hukum yang tetmasuk dwingendrecht. Menurut Prof. Tak,
(baik dalam praktek maupun secara keilmuan) perbedaan antara
dwingendrecht dengan regeIendrecht: tenztama didapati dalam lapangan
hukum keperdataan. Hal ini bertalian dengan sifat terbuka aturan hukum
keperdataan (open system). Aturan hukum publik hampir selalu merupakan
dwingendrecht, karena penegakannya secara eksklusif ada pada negara.
Selain itu, sifat dwingettd atau memaksa dalam hukum publik sangat
berbeda dengan hukum keperdataan. Untuk menghindarkan salah pengertian,
dwingeidrecht meskipun mengandung pengertian memaksa, tidak terkait
dengan pemberian sanksi dalam bentuk membebankan suatu penderitaan
seperti antara lain diutarakan John Austin. Kalau sifat memaksa
dikaitkan dengan sanksi yang membebankan suatu penderitaan, tidak semua
aturan hukum publik memuat sanksi semacam itu. Aturan hukum
ketatanegaraan adalah aturan hukum publik yang tidak memuat sanksi yang
akan mengenakan suatu penderitaan terhadap pelanggarannya. Walaupun
demikian, aturan hukum ketatanegaraan merupakan dwingendrecht, karena
tidak dapat dikesampingkan dalam setiap hubungan atau peristiwa hukum.
c. Hukum positif "berlaku dan ditegakkan di Indonesia." Unsur ini
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa, hukum positif adalah suatu aturan
hukum yang bersifat nasional, bahkan mungkin lokal. Selain hukum positif
Indonesia, akan didapati hukum positif Malaysia, Singapura, Filipina,
Thailand, clan lain-lain negara atau suatu masyarakat hukum tertentu.
Apakah mungkin ada hukum positif yang bersifat supra nasional,
misalnya.dalam lingkungan ASEAN, UNI EROPAH, clan lain-lain. Sangat
mungkin, asal dipenuhi syarat ada badan pada tingkat supra nasional yang
bersangkutan yang menegakkan aturan hukum tersebut apabila ada
pelanggaran.
Ditinjau dari lingkungan teritorial sebagai tempat berlaku, di Indonesia
ada dua macam hukum positif yaitu hukum positif yang berlaku di selunzh
wilayah Negara Indonesia (nasional) dan ada yang berlaku untuk daerah
atau lingkungan masyarakat hukum tertentu atau dapat disebut sebagai
hukum positif lokal.
Hukum positif lokal dapat dibedakan antara hukum positif yang lahir atau
dibuat dan berlaku dalam lingkungan pemerintahan otonomi berupa
Peraturan Daerah, atau keputusan-keputusan lainnya. Hukum positif lokal
ini termasuk juga peraturan hukum yang dibuat pada tingkat nasional
tetapi hanya berlaku untuk daerah atau wilayah tertentu. Undang-undang
tentang pembentukan daerah otonom seperti Nanggroe Aceh Darussalam (UU
No. 18 Tahun 2001) adalah aturan hukum yang dibuat oleh Pusat tetapi
hanya berlaku untuk daerah atau wilayah Aceh.
Selain itu, hukum positif lokal dapat berupa hukum adat yang berlaku
untuk lingkungan masyarakat hukum teritorial atau geneologis tertentu.
Van Vollenhoven membagi Indonesia dalam 19 1ingkungan hukum adat
(rechtskringen) yang berbeda-beda satu sama lain dengan berbagai corak
hukum terutama dalam hukum kekeluargaan dan waris yang berbeda-beda
pula.
Meskipun hukum positif bersifat nasional dan pada dasarnya hanya berlaku
dalam wilayah negara Indonesia (daerah tertentu), tetapi dalam keadaan
tertentu dapat berlaku diluar wilayah negara Indonesia. Dalam KUHPidana
(WvS) dijumpai perluasan berlaku hukum pidana diluar teritorial negara
Indonesia.
1) Ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana di
atas kapal Indonesia yang sedang berada diluar wilayah negara Indonesia
(KUH Pidana, Pasa13). Menurut Wirjono Prodjodikoro, ketentuan Pasal 3
KUH Pidana hanya menyangkut perluasan tempat berlaku, bukan menunjukkan
bahwa kapal Indonesia adalah bagian dari wilayah Indonesia. Indonesia
tidak menganut ship is terrifoir, karena perbuatan pidana di atas kapal
Indonesia yang sedang berada di luar wilayah negara Indonesia dapat juga
diadili oleh negara yang bersangkutan (sesuai ketentuan yang berlaku di
negara yang bersangkutan). Dalam hal pelaku pidana diadili oleh negara
asing, maka tidak dapat lagi diadili di Indonesia berdasarkan asas ne
bis in idem (KUH Pidana Pasal 76).
2) Berdasarkan prinsip nasionalitas, ketentuan tertentu hukum pidana
Indonesia (seperti Pasal 160, Pasal 161, Pasal 249), berlaku terhadap
warga negara Indonesia yang melakukan perbuatan pidana diluar negeri
(KUH Pidana, Pasa15). Hal serupa berlaku juga dalam hukum keperdataan
seperti diatur dalam Pasal 16 AB yang antara lain menyebutkan:
"Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang mengenai status dan wewenang
seseorang tetap berlaku ketika yang bersangkutan berada diluar
Indonesia." Kaidah hukum keperdataan dapat juga berlaku diluar wilayah
Indonesia berdasarkan suatu perjanjian.
Hukum positif Indonesia juga berlaku dimana Indonesia mempunyai hak-hak
berdaulat (sovereign rights) atas wilayah yang tidak lagi masuk wilayah
teritorial negara Indonesia seperti pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
II. Jenis atau Macam Hukum Positif
Hukum positif dapat dikelompokkan kedalam hukum positif tertulis dan hukum positif tidak tertulis.
1. Hukum Positif Tertulis, dapat dibedakan antara hukum positif tertulis
yang berlaku umum dan hukum positif tertulis yang berlaku khusus.
1.1 Hukum positif tertulis yang berlaku umum, terdiri dari:
(a) Peraturan perundang-undangan; yaitu hukum positif tertulis yang
dibuat, ditetapkan, atau dibentuk pejabat atau lingkungan jabatan yang
berwenang menurut atau berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tertentu dalam bentuk tertulis yang berisi aturan
tingkah laku yang berlaku atau mengikat (secara) umum.
Termasuk dalam kategori peraturan perundang¬undangan adalah aturan hukum
sebagaimana disebutkan dalam Tap. No. III/MPR/2000." Ditinjau dari
wewenang pembentukannya, peraiuranperundang-undangandapatdibedakan
antarayang bersifatkenegaraandanyang bersifat administrasi negara.
Selanjutnya ditinjau dari daya ikatrlya ada yang bersifat ketatanegaraan
(staatsrechtelijk) dan ada yang bersifat administrasi negara
(admfnistratiefrechttelijk). Ditinjau dari lingkungan tempat berlaku,
dapat dibedakan antara peraturan perundang-undangan tingkat nasional dan
daerah.
(b) Peraturan kebijakan (beleidsregels, pseudowetgeuing, policy rides),
yaitu peraturan yang dibuat baik kewenangan atau materi muatannya tidak
berdasar pada peraturan perundang-undangan, delegasi, atau mandat,
melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari Freis Ermessen yang
dilekatkan pada administrasi negara untuk mewujudkan suatu tujuan
tertentu yang dibenarkan oleh hukum. Aturan kebijakan hanya didapati
dalam lapangan administrasi negara, karena itu keientuan aturan
kebijakan hanya dalam lapangan hukum administrasi negara. Termasuk
kedalam kategori ini adalah "surat edaran, juklak, juknis." Pada saat
ini didapati juga semacam aturan kebijakan yang dikeluarkan oleh badan
yang bukan administrasi negara seperti Surat Edaran Mahkamah Agung.
Meskipun dari segi bentuk, menyerupai salah satu aturan kebijakan, Surat
Edaran Mahkamah Agung tidak perlu dikategorikan sebagai aturan
kebijakan. Pertama; Mahkamah Agung bukan administrasi negara. Kedua;
wewenang Mahkamah Agung membuat surat edaran tidak didasarkan pada
kebebasan bertindak, tetapi atas petunjuk undang-undang. Ketiga; Surat
Edaran Mahkamah Agung berada dalam cakupan yang terbatas yaitu sebagai
pedoman yang berisi petunjuk bagi badan peradilan tingkat rendah yang
mandiri dalam menjalankan fungsi peradilan.
Perlu ditiadakan kesan, seolah-olah peraturan kebijakan atas dasar Freis
Ermessen, atau beleidsvrijheid, adalah peraturan yang semata-mata
berkaitan dengan doelmatigheid sehingga tidak terkait dengan unsur
rechtmatigheid, bahkan dapat menyimpangi rechtmatigheid. Kesan semacam
ini tidak benar (keliru). Unsur doelmatiglet'd sebagai alas Freis
Ennesseri haruslah suatu tujuan atau manfaat yang dibenarkan hukum.
Kebebasan bertindak adalah kebebasan dalam lingkup wewenangyang telah
ditentukan berdasarkan hukum. Setiap tindakan administrasi negara diluar
wewenang Yang telah ditetapkan berdasarkan hukum termasuk tindakan
berdasarkan Freis Errnesseri, adalah tindakan melampaui wewenang
(detournemeit de pouvair), bahkan dapat melawan hukum
(ortrechtmatigouer-heidsdaad), atau penyalahgunaan wewenang (misbruik
van recht).
1.2 Hukum positif tertulis yang berlaku khusus. Hukum positif tertulis
yang berlaku khusus dapat dibedakan antara yang ditetapkan administrasi
negara dan yang ditetapkan badan kenegaraan bukan administrasi negara.
Disebut berlaku khusus karena hanya berlaku untuk subyek atau
subyek-subyek tertentu dan atau obyek atau obyek-objek tertentu yang
bersifat konkrit. Berbagai hukum positif tertulis yang berlaku khusus,
adalah:
(1). Ketetapan atau keputusan administrasi negara yang bersifat konkrit.
Dalam dunia ilmu hukum di Negeri Belanda dan Indonesia ketetapan atau
keputusan semacam ini lazim disebut atau dinamakan beschikking. Pada
negara-negara berbahasa Inggris disebut decree. Bentuk hukum yang
dipergunakan adalah keputusan, seperti Keputusan Presiden, Keputusan
Menteri, dan lain-lain. Termasuk kedalam kategori ini keputusan
administrasi negara mengenai pengangkatan atau pemberhentian pejabat
dalam lingkungan administrasi negara, pemberian atau pencabutan hak atau
izin atas obyek tertentu dan lain-lain yang bersifat konkrit dan
tertentu subyek dan atau obyeknya. Ketetapan atau keputusan konkrit
badan-badan kenegaraan yang bertindak untuk dan atas nama negara bukan
atas nama pemerintah (administrasi negara). Termasuk kedalam kategori
ini. Ketetapan atau keputusan Kepala Negara berdasarkan wewenang yang
mempribadi (melekat pada jabatan) yang diberikan konstitusi atau
bersifat prerogatif. Termasuk kategori ini, wewenang Presiden mengangkat
Menteri, menetapkan Hakim Agung, Anggota DPA, Anggota BPK, Pimpinan
Mahkamah Agung, Pimpinan DPA dan Pimpinan BPK. Wewenang mengangkat atau
menetapkan pejabat di atas, bukan beschikking karena wewenang Presiden
tidak dalam kedudukan administrasi negara dan pejabat yang diangkat atau
ditetapkan bukan pejabat administrasi negara. Berbeda dengan
pengangkatan Direktur Jenderal, Sekretaris Jenderal, Gubernur atau
jabatan lain semacam itu. Dalam hal ini Presiden bertindak selaku
pejabat administrasi negara dan yang diangkat adalah pejabat
administrasi negara. Perbedaan ini sangat penting kalau terjadi
"sengketa." Dalam hal pertama, tidak akan ada "sengketa hukum," karena
itu tidak mungkin menjadi obyek gugatan di pengadilan. Kalau ada
sengketa, adalah sengketa "yang bersifat ketatanegaraan" dan hanya dapat
diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian ketatanegaraan atau
politik. Berbeda dengan Keputusan Presiden mengangkat Sekretaris
Jenderal, Direktur Jenderal atau pejabat lain dalam lingkungan
administrasi negara. Keputusan Presiden tersebut dalam kedudukan dan
dalam lingkungan administrasi, karena itu dapat menjadi obyek sengketa
dipengadilan (Pengadilan Tata Usaha Negara).
(2). Ketetapan atau keputusan suatu lembaga negara yang berwenang
mengangkat atau memberhentixan pejabat lembaga negara lainnya. Misalnya
Ketetapan MPR yang mengangkat dan memberhentikan Presiden clan Wakil
Presiden. Ketetapan MPR mengangkat Presiden dan Wakil Presiden tidak
mempunyai arti hukum yang bersifat konstitutif.
Seorang menjadi Presiden atau Wakil Presiden bukan karena ada Ketetapan
melainkan karena dipilih MPR. Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan
mulai berwenang menjalankan jabatan sejak mengucapkan sumpah bukan
karena ada Ketetatapan MPR. Praktek ketatanegaraan semacam ini tidak
akan didapati lagi karena dimasa depan, Presiden dan Wakil Presiden
dipilih langsung oleh rakyat." Walaupun ketetapan atau keputusan dalam
kategori b (1 dan 2), bersifat konkrit, tetapi dibedakan dengan
beschikking. Di atas telah dikemukakan, beschikking adalah keputusan
administrasi negara. Sedangkan, keputusan dalam kategori b (1 dan 2)
bukan oleh pejabat administrasi negara dan tidak dalam bidang
administrasi negara.
Perlu pula dicatat suatu keputusan atau ketetapan konkrit yang
dikeluarkan badan atau pejabat administrasi negara tidak selalu dalam
bentuk tertulis. Suatu perintah konkrit dapat terjadi secara lisan.
2. Hukum Positif Tidak Tertulis, yang dapat dibedakan atau terdiri dari
Hukum Adat, Hukum Keagamaan, Hukum Yurisprudensi, Hukum Tidak Tertulis
lainnya.
2.1. Hukum Adat, yaitu hukum ash bangsa Indonesia yang hidup dan berlaku
secara turun temurun atau diakui atau dinyatakan sebagai hukum yang
berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan dan atau putusan hakim.
Hukum adat mungkin didapati atau diketahui dalam atau melalui tulisan
(dituliskan). Walaupun demikian, hukum adat adalah hukum tidak tertulis,
karena tidak pernah dengan sengaja dibentuk secara tertulis oleh
pejabat yang berwenang melalui tata cara tertentu. Hukum adat menjadi
hukum positif atas dasar kenyataan sebagai hukum yang hidup dan ditaati,
pengakuan, dibiarkan berlaku, atau ditetapkan oleh pengadilan. Lingkup
hukum adat sebagai hukum positif makin terbatas akibat kehadiran hukum
positif tertulis atau karena yurisprudensi. Sampai tahun 1999 hampir
semua hukum adat ketatanegaraan tidak berlaku lagi. Sisa hukum adat
ketatanegaraan yang masih berlaku adalah untuk pemerintahan desa atau
yang dipersamakan dengan desa berdasarkan ketentuan IGO dan IGOB.
Ketentuan tersebut tidak berlaku lagi sejak ada UU No. 5 Tahun 1979
tentang Desa, kecuali mengenai sistem dan isi urusan rumah tangga desa.
Otonomi desa tetap didasarkan pada kelaziman pemerintahan desa
tradisional. Tanpa perubahan sistem dan isi rumah tangga, pembaharuan
organisasi pemerintahan tingkat desa tidak cukup berarti untuk
pembaharuan desa.
Bahkan unifikasi pemerintahan tingkat desa dengan meniadakan segala
karakteristik yang sesuai dengan lingkungan masyarakat hukum yang
berbeda-beda telah merusak sendi-sendi pemerintahan tingkat desa. Dengan
demikian, walaupun Penjelasan UUD 1945 Pasa118 menyebut satuan-satuan
masyarakat hukum asli (desa, nagari, dan lain-lain), sejak 1979 hal
tersebut tidak berlaku lagi. Tetapi sejak ditetapkan UU No. 22 Tahun
1999 keadaan berubah kembali. Undang-Undang tersebut membolehkan kembali
pemakaian nama-nama seperti gampong, marga dan lain-lain dengan segala
konsekuensi hukumnya. Hal ini kemudian lebih dipertegas berdasarkan
perubahan Pasal 18 UUD 1945 yang antara lain menyebut: "Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang (UUD 1945, Pasal 18 B).
Demikian pula di bidang hukum administrasi. Tidak ada lagi hukum
administrasi adat yang berlaku, kecuali misalnya di Daerah Istimewa
Yogyakarta untuk hal-hal yang berkaitan dengan administrasi di
lingkungan rumah tangga pemerintahan Kesultanan atau Pakualaman (bukan
untuk pemerintahan Daerah Istimewa sebagai daerah otonom). Di bidang
hukum pidana sangat dibatasi. Hukum adat hanya berlaku sepanjang diakui
hukum pidana tertulis. Di bidang hukum keperdataan, hukum adat
berangsur-angsur menyempit, yaitu di bidang hukum kekeluargaan, hukum
harta kekayaan tertentu. Di bidang inipun makin terbatas, mengingat
berbagai peraturan perundang-undangan baru yang bersifat uniformitas
seperti hukum keagrariaan baru yang diatur UU No. 5 Tahun 1960. Meskipun
UU No. 5 Tahun 1960 sebagai dasar politik dan pengaturan keagrariaan
baru (nasional) menyebutkan: "hukum agraria ialah hukum adat" (Pasal 5),
tidak berarti hukum adat sebagai hukum positif berlaku penuh disamping
(berjalan paralel dengan) ketentuan keagrariaan yang telah diatur dalam
atau berdasarkan UU No, 5 Tahun 1960. Hukum agraria ialah hukum adat,
harus diartikan atau dipahami sebagai: Pertama; UUNo. 5 Tahun 1960
disusun menurut asas-asas hukum adat, dimaksudkan sebagai penggunaan
hukum adat yang dipertentangkan dengan asas hukum keagrariaan yang
pernah diatur dalam BW, agrarischewet, atau agrarischbesluit. Pengertian
dan asas seperti eigendom, zakelijkrecht, domein, yang merupakan asas
hukum pertanahan masa kolonial tidak diteruskan karena bertentangan
dengan pengertian dan asas kepemilikan, kedudukan clan fungsi tanah
menurut hukum adat.
Kedua; ketentuan hukum adat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
asas dan ketentuan keagrariaan baru (UU No. 5 Tahun 1960, dan berbagai
peraturan perundang-undangan lain), harus dianggap tidak berlaku, karena
itu tidak boleh diterapkan lagi. Terhadap ketentuan hukum adat yang
sekalipun sesuai dengan ketentuan agraria baru juga tidak boleh
diterapkan lagi apabila telah diatur baru. Ketentuan keagrariaan baru,
berlaku primaat atau prevail, terhadap ketentuan hukum adat. Kalau tidak
ditentukan demikian, berarti hukum keagrariaan, khususnya hukum
pertanahan tetap bersifat dualisme. Di masa kolonial dualisme didapati
antara hukum pertanahan adat dan hukum pertanahan menurut BW dan
agrarischewet. Di masa sekarang, dualisme antara hukum pertanahan
menurut UU No. 5 Tahun 1960 dan hukum adat. Dualisme sekarang terjadi
karena pemahaman yang kurang tepat atas prinsip UU No. 5 Tahun 1960
yaitu prinsip hukum agraria ialah hukum adat diartikan seolah-olah di
samping UU No. 5 Tahun 1960 berlaku juga hukum adat. Hal ini akan lebih
mengakibatkan ketidakpastian hukum dibandingkan pada masa kolonial. Di
masa kolonial ada batas-batas yang jelas antara yang tunduk pada hukum
pertanahan adat dan yang tunduk pada ketentuan BW. Sekarang tidak,
sehingga "pilihan hukum" dapat diterapkan sekehendak hati, tergantung
pada kemauan atau kepentingan yang bersangkutan atau hakim.
Ketiga; ketentuan hukum adat masih dapat diterapkan dalam hal didapati
kekosongan dalam ketentuan keagrariaanbaru, atau apabila penerapan
ketentuan keagrariaan baru akan secara mendasar bertentangan dengan
kepatutan (rechtvaardigheid), keadilan (billijkheid), kepentingan umum
(algemeen belang) atau ketertiban umum (openbare orde). Memperhatikan
makin menyempitnya hukum adat sebagai hukum positif, beberapa obyek
pengajaran hukum adat tidak relevan lagi sebagai kajian ilmu hukum
positif (positiefrechtswetenschap).
Namun tidak berarti kajian keilmuan hukum adat menjadi kurang penting.
Tetap periting. Tetapi harus bergeser dan ditempatkan dalam kajian
sejarah hukum (rechthistorie) dan atau teori hukum (rechthistorie) atau
filsafat hukum. Kajian terakhir ini (teori hukum atau filsafat hukum)
beberapa puluh tahun yang lalu telah dirintis oleh almarhum Prof. Mr.
Sudiman Kartohadiprodjo (guru besar filsafat hukum FH. UNPAD dan
Parahiyangan) yang mencoba secara keilmuan mengkaji Pancasila dari sudut
pemikiran anak bangsa Indonesia. Kajian ini dalam rangka pengajaran
filsafat hukum yang berdasarkan Pancasila sebagai sesuatu yang digali
dari bumi Indonesia sendiri. Sayang, rintisan ini tidak dilanjutkan.
Bahkan ada semacam mengucilkan, sehingga dilupakan. Salah satu kelemahan
pendekatan almarhum, karena terlalu kuat bertolak dari Pancasila,
sehingga oleh sebagian dianggap menjadi begitu ideologis dibandingkan
sebagai suatu kajian keilmuan dan menjadi sempit karena "berputar-putar"
pada fenomena Pancasila. Secara obyektif rintisan ini harus dihargai
dan sedapat mungkin ada yang meneruskan. Salah satu kelemahan
pengajaran ilmu hukum di Indonesia karena tidak berkembangnya kajian
teori hukum dan filsafat hukum yang bersifat ke Indonesiaan. Hal ini
bukan mengada-ada atau chauvinisme. Teori hukum jurisprudence, sangat
erat dengan ketentuan hukum positif. Teori hukum disatu pihak merupakan
nbstraksi teoritik hukum positif sehingga dapat disebut bersumber dari
hukum positif. Dilain pihak, teori hukum dapat menjadi asas dan landasan
hukum positif. Hukum positif dimanapun bersifat "nasional," karena itu
bukanlah sesuatu yang aneh kalau berkembang teori hukum yang bersifat
nasional seperti kajian "American legal system, France legal system" dan
lain-lain. Kita harus membangun pula teori hukum Indonesia seperti
kajian "the Indonesian legal system." Begitu pula kajian filsafat hukum.
Meskipun ada yang berpendapat filsafat hukum lebih universal dibanding
teori hukum, tetapi tidak menutup kajian "the Indonesian philosophy of
law." Sebab berbagai kebangkitan suatu ajaran atau filsafat hampir
semuanya tidak terlepas dari kenyataan atau pandangan umum yang ada
disekitarnya. Ajaran philospher kirtg Plato, lahir karena dihadapkan
pada kenyataan perang terus menerus antara negara kota di Yunani yang
antara lain menghar,curkan atau menyebabkan kemunduran negara kota
Atena, karena dikalahkan Sparta.
Pandangan hukum marxisme yang begitu keras, (hukum dianggap sebagai alat
penindas belaka), timbul karena kenyataan bahwa hukum pada saat itu
tidak secara nyata memberikan perlindungan kepada kaum buruh yang
tertindas oleh kaum kapitalis. AjaranpemisahankekuasaanMontesquieu,
merupakan reaksi terhadap kekuasaan absolut yang sewenang-wenang di
Perancis. Ajaran atau mazhab sejarah von Savigny merupakan refleksi
nasionalisme menghadapi ekspansi sistem hukum Perancis melalui model
kodifikasi hukum. Demikian pula ajaran hukum Bentham command of the
souvereign, merupakan "reaksi" terhadap hukum Inggris yang beraneka
ragam dan berbagai faktor kelemahan dari sistem common law. Beberapa
ilustrasi di atas, menunjukkan pekembangan ajaran fiLsafat hukum atau
kenegaraan yang kemudian diterima secara "universal," lahir dari
kenyataan setempat atau kondisi nasional yang dihadapi. Van Vollenhoven
telah berjasa menemukan hukum adat sebagai sebuah sistem. Sayangnya
penemuan ini - demikian pula penulis atau peneliti lain dibidang hukum
adat - lebih memusatkan perhatian menemukan hukum adat sebagai sistem
hukum positif dan belum sampai pada pengembangan teori hukum atau
filsafat hukumnya. Tentu saja ada bagian-bagian dari temuan tersebut
yang telah diangkat pada tingkat teori hukum tetapi belum komprehensif.
Holleman misalnya menemukan cara berpikir menurut hukum adat, sehingga
dapat dipahami sistem hukum perolehan hak, sistem hak ulayat, dan
lain-lain. Setelah merdeka rintisan ini mandek. Sistem pengajaran pada
pendidikan tinggi hukum berangsur-angsur lebih menekankan kajian hukum
positif. Kajian-kajian teori hukum mengalami pendangkalan. Ahli hukum
Indonesia lebih tertarik mendalami berbagai aspek hukum yang bersumber
dari luar. Sebagai contoh, pengajaran mengenai "sumber hukum." Masih ada
tulisan atau pengajaran yang antara lain menyebutkan traktat sebagai
sumber hukum. Traktat dalam sistem perundang-undangan Indonesia bukan
merupakan bentuk hukum mandiri. Bentuk hukum traktat adalah
undang-undang atau Keputusan Presiden. Karena itu dalam sistematik
sumber hukum mestinya masuk ke dalam kelompok "undang-undang dalam arti
materiil." Sudah saatnya di fakultas hukum dibangun pusat kajian teori
hukum dan filsafat hukum, tidak sekedar pusat kajian hukum positif.
Diakui, membangun pusat semacam ini tidak mudah. Pada saat hukum
mempunyai "nilai ekonomis" yang begitu tinggi dan sarjana hukum
dibutuhkan untuk berbagai lapangan praktis, sulit menemukan tenaga yang
mau bertekun untuk hal abstrak ini. Rintisan Prof. Mochtar Kusumaatmadja
mengenai ajaran tentang peranan hukum dan pembaharuan hukum dan peranan
hukum dalam pembangunan hukum nasional kurang berkembang sebagai
bangunan teori yang komprehensif. Memang banyak yang kemudian menulis
atau membicarakan keterkaitan hukum dengan perubahan sosial,
pembangunan, dan lain-lain. Tetapi ilmu hukumnya sendiri tidak
berkembang. Selain berputar pada teori yang sudah ada seperti
sociological jurisprudence, berbagai kajian tersebut lebih nampak
sebagai kajian kebijakan dari pada untuk perkembangan ilmu hukum. Prof.
Mochtar Kusumaatmadja sendiri tidak lagi berkesempatan mengembangkan
lebih jauh pemikiran-pemikiran baru mengenai hukum, karena berbagai
pekerjaan lain yang dipikulkan kepadanya. Mereka yang mentransformasikan
pikiran-pikiran hukum Prof. Mochtar Kusumaatmadja, terbztas pada
menjelaskan dan kadang-kadang rnengidiologikafi-nya sehingga tidak
berkembang lebih komprehensif. Mestinya mereka yang "mengambil alih"
tugas beliau dengan mengembangkan lebih jauh pandangan hukum tersebut
sehingga terbentuk satu pendekatan teoritik yang komprehensief.
Akibat kurang berkembangnya teori hukum, pengajaran hukum Indonesia
lebih berorientasi pada telaahan terhadap hukum positif. Hal ini nampak
antara lain dalam sistem pendidikan hukum yang dibagi dalam strata I,
II, dan III. Strata I sebagai pendidikan untuk memperoleh gelar sarjana
hukum. Pada tingkat strata I, pengajaran lebih diarahkan pada penguasaan
hukum positif belaka. Kupasan teoritik, baik yang umum maupun khusus
sangat terbatas. Sebagai salah satu akibatnya, sarjana hukum acap kali
kurang mengenali dengan baik kerangka hukum sebagai sebuah sistem atau
tertib legal system, legal order. Hal ini nampak pada kemampuan
berargumentasi atau menerangkan pikiran hukum secara sistematik, logis,
dan ilmiah (legal reasonirrgs). Argumentasi pragmatiklah yang
mendominasi pemikiran hukum. Sadar atau tidak sadar, ciri-cir.i ini
merupakan pendangkalan terhadap ilinu hukum dan pendidikan hukum.
2.2 Hukum Keagamaan
Hukum keagamaan sebagai hukum positif, adalah hukum dari agama yang
diakui menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
berdasarkan suatu kebijakan Pemerintah yang mengakui semua sistem
keyakinan atau sistem kepercayaan yang oleh pengikutnya dipandang
sebagai agama. Pada saat ini, didapati berbagai hukum keagamaan yang
dinyatakan -melalui undang-undang- sebagai hukum positif. Berdasarkan W
No. 1 Tahun 1974, ketentuan-ketentuan semua agama mengenai perkawinan
dinyatakan sebagai hukum positif. Khusus bagi yang beragama Islam,
pengakuan hukum perkawinan Islam telah ada sejak masa Hindia Belanda
dengan dipertahankannya peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa
nikah, talak, dan rujuk (seperti Mahkamah Syariah di Jawa dan Qadi Besar
di Kalimantan) berdasarkan hukum Islam. Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989
- bagi pemeluk agama Islam-ketentuanhukum positif berdasarkan syariah
(hukum Islam) diperluas ke bidang-bidang lain seperti wakaf,
pemeliharaan anak, pewarisan, hubungan nasab dalam pengangkatan anak.
Memperhatikan berbagai ketentuan undr.ng-undang -antara lain seperfi
disebut di atas ada beberapa cara menyatakan hukum agama menjadi hukum
positif.
Pertama; mengakui bahwa untuk hubungan atau peristiwa hukum tertentu
berlaku hukum agama, seperti pernyataan bahwa perkawinan sah apabila
dilakukan menurut agama masinb masing (UU No. 1 Tahun 1974).
Kedua; memasukkan atau mentransformasikan asas dan ketentuan hukum agama
tertentu kedalam ketentuan undang-undang. Misalnya, dalam penjelasan
Undang-Undang Kesejahteraan Anak dinyatakan pengangkatan anak tidak
memutuskan hubungan nasab.
Ketiga; membiarkan hukum agama tertentu berlaku sebagai hukum positif.
Hal ini nampak antara lain dalam ketentuan perbankan mengenai sistem
bank syariah atau berlakunya Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Memasukkan hukum agama menjadi hukum positif terjadi juga melalui
putusan hakim. Di lingkungan peradilan agama, telah diadakan pedoman
penerapan hukum agama bagi mereka yang beragama Islam seperti "kompilasi
Hukum Islam" yang ditetapkan dalam Instruksi Presiden No, l Tahun 1991
jo Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991. Hal yang sama dapat juga
dilakukan atau terjadi pada lingkungan peradilan lain, khususnya
peradilan umum. Hakim dapat menggunakan asas atau ketentuan agama
apabila penerapan suatu peraturan perundang-undangan sungguh-sungguh
melukai rasa kepatutan, atau rasa keadilan, atau pandangan kesusilaan
menurut dasar keagamaan pencari keadilan.
2.3 Hukum Yurisprudensi; adalah hukum positif yang berlaku secara umum
yang lahir atau berasal dari putusan hakim. Disinilah letak perbedaaan
sifat hukum antara putusan hakim dengan yurisprudensi. Putusan hakim
adalah hukum yang bersifat konkrit dan khusus berlaku pada subyek yang
terkena atau terkait langsung dengan bunyi putusan. Pada saat suatu
putusan hakim diterima sebagai yurisprudensi, maka asas atau kaidahnya
menjadi bersifat umum dan dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan
hukum bagi siapa saja. Hingga saat ini, peranan hukum yurisprudensi
belum mendapat perhatian yang cukup, baik dalam pengajaran hukum maupun
praktek hukum.
Pertama; sistem pengajaran hukum -terkecuali untuk kajian hukum
internasional karena ada case study- kurang sekali menggunakan
putusanhakim atau yurisprudensi sebagai bahan bahasan. Hal ini terjadi
karena (antara lain):
1) Pengajaran hukum masih terbelenggu oleh sistem yang menekankan
penguasaan pengertian umum hukum sebagai suatu standar kajian hukum
dalam ilmu hukum rechtwetenschap, legal science. Pengajaran hukum ini
bersifat abstrak dalam bentuk generalisasi teoritik belaka. Itupun -
seperti diutarakan dimuka- mengalami pendangkalan karena pengajaran
lebih ditekankan pada hukum positif.
2) Sistem hukum yang berlaku menempatkan asas dan kaidah hukum yang
bersumber pada peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama hukum
yang berlaku. Akibatnya, orientasi pengajaran hukum diutamakan pada
penguasaan terhadap 34 ketentuanhukum yang didapati dalamperaturan
perundang-undangan. Sistem pengajaran ini sangat berbahaya, karena tidak
tertutup kemungkinan, bunyi atau pengertian yang didapati dalam
peraturan perundang-undangan telah diberi pengertian atau tafsiran baru
oleh putusan hakim atau yurisprudensi. Sekedar beberapa contoh:
1) Pengertian "barang" dalam pidana pencurian termasuk pencurian listrik.
2) Pengertian onrechtmatigedaad, hanya dapat dipahami setelah mempelajari yurisprudensi (Arrest H.R,1919).
3) Makin banyak putusan Mahkamah Agung yang menerima permohonan
kasasipraperadilan,berhadapan dengan ketentuan hukum positif yang
menyatakan tidak ada kasasi untuk, praperadilan.
4) Ketentuan "jual beli tidak memutuskan hubungan sewa menyewa" oleh
yurisprudensi diperluas menjadi asas pengasingan (vervreemding) tidak
memutuskan sewa menyewa, sehingga termasuk hibah, pewarisan, dan
lain-lain bentuk pengasingan.
3) Publikasi putusan hakim atau yurisprudensi sangat terbatas sehingga
tidak mudah didapat untuk dipelajari atau dibahas. Bahkan ada yang
berpendapat, publik tidak berhak memperoleh suatu salinan putusan karena
dalam HIR ada ketentuan yang membatasi hanya untuk terpidana atau pihak
yang berperkara, kecuali melalui tata cara tertentu. Ketentuan ini
tidak sejalan dengan asas bahwa putusan hakim harus diucapkan dalam
sidang terbuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. Karena terbuka untuk
umum, maka putusan hakim tidak lagi sebagai dom:?in pribadi melainkan
domein publik.
4) Kebijakan penelitian hukum yang tidak memberi kelapangan fasilitas
untuk penelitian putusan hakim atau yurisprudensi. Lebih-lebih lagi
kalau sumber dana dari pemerintah yang tidak memahami peranan putusan
hakim atau yurisprudensi, baik untuk pengembangan ilmu hukum maupun
praktek hukum. Dari segi pengembangan teoritik, putusan hakim atau
yurisprudensi sangat memperkaya pendapat-pendapat atau
pengertian-pengertian baru tentang hukum. Begitu pula praktek hukum.
Salah satu keluhan banyak pihak (dalam dan luar negeri), putusan hakim
acapkali menimbulkan ketidakpastian hukum karena -antara lain- tidak ada
konsistensi. Penelitiansistematik dan keilmuan mengenai hal ini akan
memberikan sumbangan penting dalam upaya membangun ketertiban dalam
penerapan hukum. Selain itu, penelitian yurisprudensi sangat penting
untuk mengidentifikasi kemungkinan kesenjangan antara law in books dan
law in action.
Kedua; dari segi praktek hukum, putusan hakim atau yurisprudensi legally
uou binding, karena Indonesia Hdak menjalankan sistem precedetrt.
Putusan hakim atau yurisprudensi hanya mempunyai kekuatanyang bersifat
persuasif bagi hakim. Ada kelebihan dan kekurangan sistem non precedent
yang kita jalankan. Kelebihannya, hakim tidak terbelenggu oleh putusan
masa lalu yang mungkin tidak sesuai lagi. Pertumbuhan hukum akan lebih
dinamis karena hakim bebas menemukan hukum sesuai perkembangan dan
kenyataan yang dihadapi. Kekurangan atau kelemahannya -seperti sepintas
diuraikan di atas- putusan hakim atau yurisprudensi tidak dapat
diandalkan sebagai sumber nyata kepas6an dan konsistensi penerapan
hukum.
Baik ditinjau dari pengertian maupun kenyataan, kepastian hukum didapati
dalam penerapan hukum bukan dalam suatu peraturan perundang-undangan
yang hanya merupakanbayang-bayang dari kepastian hukum. Selanjutnya
sistem non precedent, mudah mengundang penyalahgunaan dan
kesewenang-wenangan hakim. Atas nama kebebasan, hakim dapat memutus
sesuai kepentingan tertentu.
3.4 Hukum Kebiasaan, yaitu hukum yang tumbuh dan dijalankan dalam
praktek penyelenggaraan negara atau pemerintahan, dan hukum yang tumbuh
dan dijalankan dalam praktek komunitas perniagaan, dan lain-lain.
Hukum-hukum ini sebenarnya merupakan (hukum) adat istiadat. Secara
singkat dapat disebut hukum adat. Tapi disini sengaja tidak dimasukkan
kedalam kelompok Hukum Adat (huruf besar), karena selama ini telah
diterima pengertian bahwa Hukum Adat adalah hukum asli yang tumbuh,
berkembang, dan hidup dalam lingkungan masyarakat ash Indonesia. Yang
cukup intensif diajarkan di Fakultas Hukum adalah hukum kebiasaan di
bidang ketatanegaraan, atau lazim disebut konvensi. Tetapi karena hukum
kebiasaan ketatanegaraan ini sangat menonjol pada sistem ketatanegaraan
Inggris, maka referensi utama biasanya adalah kebiasaan ketatanegaraan
Inggris. Termasuk kedudukan hukum dari kebiasaan ketatanegaraan. Di
Inggris kebiasaan ketatanegaraan tidak digolongkan sebagai hukum
melainkan sebagai etika, alasannya karena tidak dapat ditegakkan melalui
pengadilan. Pendirian ini perlu mendapat peninjauan kembali:
(1) Tidak banyak kaidah hukum ketatanegaraan yang ditegakkan atau
dipertahankan melalui proses peradilan. Hukum ketatanegaraan umumnya
tegak melalui proses politik atau proses hukum di luar pengadilan
seperti impeachment. Kaidah hukum tata negara yang ditegakkan melalui
proses peradilan hanya beberapa seperti mengenai pengujian terhadap
undang-undang (tidak semua negara menjalankan praktek semacam itu),
perkara pelanggaran hak asasi manusia oleh negara, alat kelembagaan
negara, atau pemerintah. Dengan demikian, tidak relevan menentukan dasar
perbedaan pada dapat atau tidak dapat ditegakkan melalui proses
peradilan. Lebih-lebih lagi makin berkembangnya pranata yang lazim
disebut quasi admirtistratiefsrechtspraak sebagai forum menyelesaikan
sengketa tanpa melalui pengadilan. Demikianpula lembaga penyelesaian
sengketa dalam lingkungan administrasi seperti "banding administrasi."
Pada saat ini makin berkembang pula lembaga penyelesaian sengketa yang
tidak sepenuhnya melalui proses peradilan seperti court cottttected
mediatiott atau yang sama sekali diluar proses peradilan seperti
mediasi. Dalam mediasi yang diutamakan adalah menemukan penyelesaian
bukan mengenai hukum yang akan diterapkan. (2). Sistem hukum Indonesia
-yang diwarisi dari sistem kolonial adalah sistem kontinental yang
menerima kaidah kebiasaan sebagai hukum, bukan kaidah etika.