Idul Fitri adalah hari kemenangan yang patut kita rayakan dengan kegembiraan, dimana pada hari raya tersebut terdapat makna tersendiri bagi umat Islam. Terlahir kembali, seperti baru pertama kali manusia dilahirkan dan rasa kebersamaan yang begitu erat diantara sesama dengan saling memaafkan segala kesalahan yang pernah ada, karena hakikatnya manusia adalah mahluk yang tak lepas dari kesalahan.
Pada kesempatan yang penuh kemenangan ini, saya akan menuliskan sebuah contoh teks pidato tentang Idul Fitri. Tentu dengan adanya contoh teks pidato Idul Fitri ini saya harapkan sahabat satu bahasa yang sedang mencari contoh teks pidato Islam tidak lagi kesulitan untuk mengarang pidato maupun bersusah-susah mencari contoh pidato karena di blog satu bahasa ini sahabat bisa menemukan berbagai macam contoh teks pidato.
TEMA : SHAUM MENDIDIK PENDENGARAN
Alhamdulillah merupakan pujian yang paling pantas kita panjatkan kehadirat Allah swt, karena dengan qudrah dan iradah Allah kita dapat menjalankan saum Ramadhan dan merasakan nikmatnya idul fitri dalam suasana yang tentram dan aman, disertai dengan keyakinan yang kuat bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi dalam kehidupan manusia kecuali dengan takdir Allah swt. Ada dua takdir Allah yang saya alami pada pagi ini:
Pertama, sebelum memasuki tahun 1428 H, Dewan Hisab PP Persis telah menetapkan bahwa 1 Syawal 1428 H jatuh pada hari Sabtu, bertepatan dengan 13 Oktober 2007. Hal itu ditetapkan dengan pertimbangan bahwa pada hari Kamis, 11 Oktober 2007, bertepatan dengan 29 Ramadhan 1428 H. saat matahari terbenam Hilal bulan Syawwal ‘adamu imkanir rukyat, hilal tidak mungkin terlihat di seluruh Indonesia, dengan perhitungan ketinggiannya kurang dari 1 derajat, sehingga jumlah hari bulan Ramadhan 1428 H digenapkan menjadi 30 hari dan 1 Syawal 1428 H jatuh pada hari Sabtu, bertepatan dengan 13 Oktober 2007. Kesimpulan yang sama di tetapkan pula oleh Pemerintah setelah mendapat laporan dari Tim Hisab dan Rukyat Kantor Wilayah Departemen Agama di 29 lokasi di Indonesia, dari Jayapura hingga Banda Aceh yang menyatakan tidak melihat hilal. Oleh karena itu, pelaksanaan Iedul Fitri hari Sabtu, 13 Oktober 2007 ini kita yakini sebagai takdir Allah yang terbaik.
Kedua, beberapa panitia iedul fitri sempat meminta saya untuk menjadi imam dan khatib di tempatnya masing-masing. Keinginan mereka saya tolak, karena saya telah menyanggupi untuk menjadi khatib di tempat lain. Tak diduga sebelumnya, 2 bulan sebelum Ramadhan panitia dari Masjid An-Najah Andir. Kemudian 1 minggu sebelum Ramadhan tiba, saya diminta untuk menjadi khatib di Lapangan SMP 18 Bandung. Namun akhirnya takdir Allah yang menentukan pagi ini saya harus berada di tempat ini, berdiri di hadapan ikhwatu iman.
Kedua peristiwa tersebut semakin mempertebal keyakinan kita bahwa apa pun yang terjadi dalam kehidupan manusia, hal itu merupakan takdir Allah yang terbaik. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bila pada hari ini kita bertakbir, bertasbih, mengagungkan asma Allah.
ألله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله هو الله أكبر الله أكبر ولله الحمد
‘Aidin wal ‘aidat rahimakumullah
Memperhatikan perjalanan hidup kita sampai saat ini, sungguh banyak nasehat dan khutbah yang telah kita dengar, namun sebagian besar isi nasehat dan khutbah itu telah hilang dari ingatan.
Nasihat agama, khutbah id, dan khutbah Jumat hanya sampai pada telinga, tidak menembus kalbu, tidak menjadi amal, bila didengar tanpa perhatian, tanpa taffakkur dalam pikiran. Itulah sebabnya, mendengarkan sesuatu yang wajib didengar sama berat dengan membiarkan sesuatu yang haram didengarkan. Kedua-duanya memerlukan usaha yang sungguh-sungguh. Sebab, bila perhatian tercurahkan pada kemaksiatan, maka kemasiatanlah yang akan sering didengar dan tidak pernah lepas dari ingatan.
Mendengar adalah fitrah manusia dan di luar usaha manusia, namun yang menyebabkan manusia dapat mendengarkan dan tidak mendengarkan adalah usaha manusia itu sendiri, karena manusia telah diberi kemampuan untuk mendengarkan sesuatu yang seharusnya didengarkan.
Di dalam surat Al-Anfal ayat 20 – 23, Allah swt. berfirman:
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلاَ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُوْنَ (20) وَلاَتَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ قَالُوْا سَمِعْنَا وَهُمْ لاَيَسْمَعُوْنَ (21) إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِ عِنْدَ اللهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِيْنَ لاَيَعْقِلُوْنَ (22) وَلَوْ عَلِمَ اللهُ فِيْهِمْ خَيْرًا لأَسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُوْنَ (23)
Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berpaling padahal kamu mendengar. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang berkata, “Kami mendengarkan” padahal mereka tidak mendengarkan. sesungguhnya sejahat-jahat makhluk di sisi Allah adalah yang tuli, bisu yang tidak menggunakan akal (tidak mengerti apa-apa). Andaikan kiranya Allah Mengetahui ada kebaikan pada mereka, tentu Allah akan menjadikan mereka mendengar, dan andaikan Allah menjadikan mereka bisa mendengar tetap saja mereka berpaling, mereka berpaling (dari kebenaran yang mereka dengar). Q.s. Al-Anfal : 20-23
Pada firman Allah tersebut ada empat hal yang perlu kita perhatikan; Namun karena keterbatasan waktu, dua hal saja yang hendak disampaikan.
Pertama, ayat-ayat tersebut di mulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat Islam untuk mencurahkan perhatiannya, yaitu panggilan ya ayyuhal ladzina amanu yang biasa kita terjemah dengan wahai orang-orang yang beriman. Panggilan yang sama digunakan pula oleh Allah ketika menguraikan tentang shaum Ramadhan dalam surat al-Baqarah:183. Panggilan seperti ini digunakan Alquran sebanyak 89 kali.
Ya ayyuhal ladzina amanu merupakan panggilan khusus, panggilan akidah, panggilan yang penuh dengan kasih sayang. Tidak sembarang manusia bisa merasakan betapa indah dan tingginya nilai panggilan itu. Walaupun panggilan itu disuarakan dengan suara yang keras agar bisa membangkitkan yang sedang tidur, atau dengan suara yang lembut agar menyentuh hati yang keras, namun bagi yang tuli dan bisu suara itu tidak ada artinya. Panggilan itu seakan angin lalu saja, tanpa makna tanpa hikmah untuk kemaslahatan dirinya dan dunia pada umumnya.
Dalam merasakan panggilan itu, orang-orang yang mengaku beriman pun tidak sama tingkatannya; Ada yang bisa merasakannya dengan sempurna, ada yang kurang sempurna, bahkan ada yang selintas saja. Hal itu menunjukkan kadar keimanan masing-masing. Karena itu, Allah dan Rasul-Nya berulang kali memerintahkan kepada orang yang beriman agar senantiasa memelihara keimanan yang ada.
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا أَمِنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلَى رَسُوْلهِِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللهِ وَمَلئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيْدًا
Wahai orang-orang yang beriman ! Imanlah kamu kepada Allah dan kepada Rasul-Nya dan kepada kitab yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya dan kepada kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Dan barang siapa yang kufur kepada Allah dan kepada malaikat-Nya, dan kepada kitab-kitab-Nya dan kepada rasul-rasul-Nya dan kepada hari akhir, sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang jauh. Q.s. An-Nisa : 136
Jika ayat ini kita perhatikan dengan seksama, maka akan timbul pertanyaan ‘Mengapa orang yang telah beriman diperintahkan beriman, bukankah tepatnya kepada orang yang belum beriman atau kafir’ ?
Ungkapan pada ayat tersebut bukan suatu kebetulan, bukan ketidaksengajaan, atau terjadi kesalahan redaksional. Justru dengan redaksi seperti itu Allah mendorong kita untuk menggali makna-makna yang terkandung dalam ayat tersebut. Menurut para ulama, setidak-tidaknya ayat ini mengandung tiga makna;
1. lil istimrar, yaitu agar keimanan tetap terpelihara, jangan sampai hilang.
2. lit taqrir, yaitu untuk mengokohkan agar keimanan itu tetap kuat jangan sampai lemah.
3. lil istikmal, yaitu agar keimanan tetap sempurna.
Dengan demikian, ayat itu mengandung makna “Wahai orang-orang yang beriman peliharalah keimananmu, kuatkan dan tingkatkanlah sampai kepada tingkat kesempurnaan”.
Kedua, pada ayat-ayat tersebut kata “mendengar” disebut sebanyak lima kali. Berulangnya kata ‘mendengar’ bukan berarti penghamburan atau penghias kata semata, melainkan untuk memberikan pengertian betapa pentingnya pendengaran itu bagi kehidupan manusia. Bagi orang yang beriman, pendengaran bukan saja sebagai instrumen utama belajar melainkan sebagai instrumen ibadah, seperti seseorang yang mendengar azan, dan akan solat dengan adzan itu, ia harus mengucapkan sebagaimana yang diucapkan mu’azzin.
إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ
“Jika kamu mendengar azan (panggilan), ucapkanlah seperti perkataan mu’azzin” Muttafaq Alaih
Demikian pula seseorang yang bermakmum harus mendengarkan dengan perhatian bacaan imam di saat imam membaca dengan jahar pada rakaat pertama dan kedua dalam salat wajib, atau bacaan jahar dalam salat sunat.
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْانُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Jika dibacakan Alquran, maka dengarkanlah dan perhatikanlah, agar kamu mendapat rahmat”. Q.s. Al-A’raf : 204
Dengan demikian, pengulangan kata itu menunjukkan bahwa pendengaran bisa mengubah perasaan, pola pikir, niat, dan tindakan seseorang. Seseorang yang pada mulanya benci kepada Si Polan, berubah menjadi cinta karena di antaranya sering mendengar pujian orang lain kepada si polan itu, atau cinta bisa berubah menjadi benci setelah sering mendengar cacian orang lain kepada Si Polan tadi.
Demikian pula seseorang yang sedang nikmat makan bisa saja berubah menjadi tidak nikmat, karena mendengar suara yang mengagetkan atau suara yang menakutkan, atau karena mendengar berita duka yang jadi musibah bagi dirinya.
Begitu pula terhadap suatu paham atau ajaran, setelah seseorang sering mendengar penjelasan tentang suatu ajaran, bisa berubah dari penganut setia menjadi pembangkang, atau dari pembenci kepada pecinta dan jadi penganut yang setia terhadap ajaran itu. Karena itu, memanfaatkan pendengaran dijadikan salah satu strategi perang untuk membentuk opini publik, pendapat masyarakat melalui berita. Walaupun adakalanya harus merekayasa berita dengan berbagai kebohongan, agar masyarakat atau umat menjadi cinta dan membantu perjuangan suatu kelompok atau sebaliknya, yaitu menjadi benci dan menghalangi kepada perjuangan seseorang atau kelompok. Maka dalam situasi seperti ini tidak mengherankan apabila kawan menjadi lawan dan lawan menjadi kawan. Dari sini tampak jelas hikmahnya mengapa kata as-sam’a (mendengar) lebih didahulukan penyebutannya daripa kata al-bashar (melihat).
Sehubungan dengan hal itu, layak dan pantas bila kita cermati sebuah nasehat dari orang bijak
تَعَلَّمُوْا حُسْنَ الإِسْتِمَاعِ كَمَا تَعَلَّمُوْا حُسْنَ الْكَلاَمِ
“Belajarlah menyimak dengan baik, seperti belajarlah berbicara dengan baik”
Nasehat tersebut mengajarkan kepada kita bahwa mendengarkan dengan baik, penuh perhatian, disertai hati yang ikhlas, akan mampu menyimak dan memilah-milah, mana yang layak dipercaya dan mana yang tidak layak, mana yang cocok untuk dijadikan pegangan dan mana yang tidak.
Dan dalam konteks inilah, kita dapat memahami sekaligus mendapatkan nilai pendidikan yang terkandung dalam ibadah shaum sebagaimana dinyatakan oleh Jabir bin Abdullah
إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ
“Apabila anda saum, hendaklah pendengaranmu ikut shaum” H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf II:271, No. 8.880
Perkataan ini menunjukkan bahwa shaum itu bukan sekedar menahan diri dari lapar dan dahaga tetapi harus mampu menahan pendengaran kita dari segala ucapan dan informasi yang tidak akan menuntun kita kepada kemaslahatan, dan hal itu harus terwujud dalam kehidupan sehari-hari setelah usai Ramadhan.
‘Aidin wal ‘aidat rahimakumullah
Keterangan-keterangan yang baru saja kita dengar sangat besar faidahnya bila kita dengar dengan penuh perhatian, dan sangat tinggi dorongannya kepada kita untuk bertafakkur, apakah pendengaran kita telah mendorong kepada kemaslahatan ? Apakah pendengaran kita telah mampu menjadikan lawan sebagai kawan ? Sejak kapan pendengaran telah mengubah perasaan, pola pikir, niat, dan tindakan kita masing-masing ?
Mudah-mudahan saum Ramadhan yang telah kita laksanakan dapat menuntun pendengaran kita untuk mendengar sesuatu yang layak dijadikan pegangan, sehingga berbagai nasehat yang pernah kita dengar tetap melekat dalam ingatan dan terlihat dalam perbuatan.
تقبل الله منا ومنكم
أَقُوْلُ قَوْلِي هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Demikianlah Contoh Pidato Hari Idul Fitri Semoga jadi bahan buat anda untuk mempersiapkannya. Terimakasih