Pages

Portal Berbagi, Kata-kata mutiara, Kata kata bijak, Kata Kata Motivasi, Kata Kata Romantis, Kata Kata Cinta, Contoh Soal Psikotes, Contoh Resensi, Contoh Moto Hidup, Contoh Surat Resmi,

07/04/15

Contoh Permohonan Uji Materil Undang-Undang tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Permohonan Uji Materil Undang-Undang tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Titi Mangsa

Yang terhormat,
Ketua Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
di
Jakarta


Hal: Permohonan Uji Materil  Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945


Dengan hormat,

Kami yang bertandangan di bawah ini:

§  Taufik Basari, S.,H. S.Hum, LL.M,
§  Virza Roy Hizzal, S.H., M.H.,
§  Ricky Gunawan, S.H.,

Advokat dan konsultan hukum yang memilih domisili hukum di kantor Taufik Basari and Associates, Jl. Tebet Timur Dalam III D No 2, Tebet, Jakarta Selatan, 12820, telp (021) 830 5450, faksimili (021) 829 1506, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 1 Desember 2008, untuk dan atas nama pemberi kuasa:

  1. M. Fadjroel Rachman, Warga Negara Indonesia, lahir di Banjarmasin, 17 Januari 1964, agama Islam, pekerjaan swasta, alamat Kopo Permai 1 Blok T No3 Rt/Rw. 007/001 Desa Sukamenak, Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, untuk selanjutnya disebut PEMOHON I;
  1. Mariana, Warga Negara Indonesia, lahir di Jakarta, 14 Maret 1976, agama  Islam, pekerjaan karyawati, alamat Jl. Janur Indah VI LA 17/9 Rt/Rw. 003/018 Kelurahan Kelapa Gading Timur Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara, untuk selanjutnya disebut PEMOHON II ;
  1. Bob Febrian, Warga Negara Indonesia, lahir di Duri, 16 Februari 1982, agama  Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat Jl. Sudirman No 29, R.T./R.W. 02/04, Kelurahan Talang Mandi, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau untuk selanjutnya disebut PEMOHON III ;

bersama ini mengajukan Permohonan Uji Materil Undang-Undang No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Adapun Permohonan ini kami susun dengan sistematika sebagai berikut:
I. Pendahuluan
II. Ringkasan Permohonan
III. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
IV. Legal Standing Para Pemohon
V. Pokok Permohonan
A. Calon Perseorangan atau Calon Independen Tidak Bertentangan dengan UUD 1945
1. UUD 1945 Tidak Melarang Pasangan Calon Presiden  dan Wakil Presiden Independen
2. Pasal 6 A Ayat (2) UUD 1945 Bukan Penghalang Bagi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau Independen
3. Warganegara Berhak Menjadi dan Memilih Calon Presiden dan Wakil Presiden Perseorangan atau Independen Karena UUD 1945 Menjamin Persamaan Kedudukan di dalam Hukum dan Pemerintahan Tanpa Diskriminasi
4. Kesimpulan Bagian Pertama
B. Pasal 1 ayat (4) UU No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU PILPRES) Bertentangan dengan UUD 1945
1. Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES Menghalangi dan menutup Peluang adanya Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Perseorangan atau Independen
2. Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES Bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28 D ayat (1) dan (3), Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945
3. Pasal 1 ayat (4) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
4. Agar tidak Bertentangan dengan UUD 1945 Maka Frasa “yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik” dalam Pasal 1 ayat (4) UU Pilpres Dinyatakan Tidak Memiliki Kekuatan Hukum Mengikat
5. Kesimpulan Bagian Kedua
C. Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES Bertentangan dengan UUD 1945
1. Tata Cara Pengusulan dan Pendaftaran Pasangan Calon dalam Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES Menghalangi dan Menutup Hak Konstitusional Warga Negara untuk Memilih dan Menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden secara Independen dan Langsung Tanpa Melalui Partai Politik
2. Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES Bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28 D ayat (1) dan (3), Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945
3. Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
4. Agar tidak Bertentangan dengan UUD 1945 Maka Frasa “oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik” dalam Pasal 8 UU PILPRES, Frasa “oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR” dalam Pasal 9 UU PILPRES dan keseluruhan Pasal 13 ayat (1) UU PIPLRES Dinyatakan Tidak Memiliki Kekuatan Hukum Mengikat
5. Kesimpulan Bagian Ketiga
D. Menempatkan Partai Politik Menjadi Satu-Satunya Jalur Bagi Warga Negara untuk Menentukan Calon Presiden dan Wakil Presiden Bertentangan dengan Prinsip Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi yang dianut UUD 1945
1. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Terdahulu
2. Respon Masyarakat Terhadap Calon Independen
3. Perkembangan Hukum dan Norma dalam Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
4. Kesimpulan Bagian Keempat
VI. Kesimpulan Akhir
VII. Petitum

I. PENDAHULUAN

Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Itulah prinsip utama dari sumber kekuasaan negara, yakni rakyat yang berdaulat dan Undang-Undang Dasar menjamin pelaksanaan kedaulatan tersebut. Oleh karena itu, hakikat dari Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara pada dasarnya adalah melindungi dan menjamin hak-hak warga negara menjadi pemegang kedaulatan negeri ini.

Dalam teori negara modern, negara dibentuk oleh sekelompok manusia, kemudian menjadi warganegara. Melalui kontrak sosial, warganegara ini memberikan amanah kepada negara untuk menjamin terlindunginya hak-hak mereka termasuk hak-hak sipil dan politiknya. Warganegara inilah subjek primer dari kekuasaan dan kedaulatan negara. Oleh karena, itu tidak akan ada negara tanpa warganegara.

Selanjutnya, agar kekuasaan dan pemerintahan suatu negara dapat berjalan, dibentuklah alat-alat negara berupa instrumen-instrumen yang berbentuk organ-organ negara. Salah satu alat atau instrumen yang diciptakan adalah partai politik.

Partai politik adalah salah satu pilar utama demokrasi. Sebagai salah satu pilar utama demokrasi, partai politik juga berfungsi sebagai salah satu saluran dari aspirasi politik masyarakat. Karena ia adalah salah satu bagian penting dari demokrasi, maka partai politik tidak boleh memonopoli kekuasaan dan demokrasi. Partai politik adalah satu diantara beberapa saluran demokrasi. Oleh karenanya, selain partai politik terdapat pula saluran-saluran lain yang dapat digunakan warga negara untuk mempergunakan haknya berpartisipasi dalam demokrasi dan saluran ini tidak boleh ditutup jika kita menghendaki terwujudnya demokrasi.

Agar suatu alat atau instrumen dapat berjalan optimal, maka alat tersebut dapat saja diberikan oleh konstitusi selain hak utama yang diberikan kepada warganegara. Karena pada hakikatnya partai politik merupakan alat atau instrumen, maka hak yang diberikan kepada partai politik tidak boleh sampai melampaui, menutup atau menghalangi hak-hak yang dimiliki oleh warga negara untuk hidup dan berpartisipasi dalam kehidupan bernegara. Alat tidak boleh melampaui subjek primer, artinya hak partai politik tidak boleh melampaui hak warga negara. Untuk itu maka fungsi konstitusi adalah menjamin terpenuhinya prinsip ini.

Dengan demikian, konstitusi pada hakikatnya menjamin tidak ada monopoli hak berpolitik oleh institusi tertentu. Hak konstitusi yang diberikan kepada partai politik untuk mengajukan usulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dimaksudkan sebagai hak preferensi partai politik namun bukan berarti hak tersebut menutup hak warganegara untuk berpartisipasi tanpa melalui preferensi tersebut. Agar demokrasi dapat berjalan dan agar hak-hak warganegara untuk memperoleh kedudukan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam politik dapat terjamin, maka ketentuan undang-undang yang menutup dan menghalangi pemenuhan hak-hak warganegara harus diuji karena bertentangan dengan norma-norma dan prinsip-prinsip konstitusi.

Atas dasar itulah Para Pemohon mengajukan Permohonan uji materil ini. Sebelumnya, pada Agustus 2008 yang lalu Para Pemohon telah mengajukan Permohonan Uji Materil terhadap UU No 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan Perkara No 23/PUU-VI/2008. Namun karena RUU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disahkan oleh DPR menggantikan UU No 23 Tahun 2003 (yang kemudian menjadi UU No 42 Tahun 2008), maka Para Pemohon menarik kembali permohonannya. Kemudian Mahkamah Konsitusi menerima permohonan penarikan ini dengan mengeluarkan Penetapan No 23/PUU-VI/2008

Permohonan Uji Materil UU No 42 Tahun 2008 memiliki keterkaitan dengan Permohonan Perkara No 23/PUU-VI/2008 yakni Uji Materil atas UU No 23 Tahun 2003. Keduanya memiliki substansi dan landasan argumentasi yang sama secara prinsipil. Oleh karena itu, argumentasi dan keterangan ahli yang disampaikan pada sidang Perkara No 23/PUU-VI/2008 kami nyatakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Permohonan ini (vide Bukti P-3).

Sebelum sampai pada pembahasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Legal Standing Pemohon dan Pokok permohonan, terlebih dahulu Para Pemohon menyampaikan Ringkasan Permohonan sebagai Berikut:


II. RINGKASAN PERMOHONAN

Yang menjadi alasan utama Para Pemohon adalah:
–          Pengertian Pasal 1 ayat (4) UU Pilpres dan Pengaturan Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES telah menghalangi dan menutup hak konstitusional Para Pemohon yang dilindungi oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D ayat (3) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945.
–          Pasal-Pasal tersebut juga bertentangan dengan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
–          Dengan menempatkan partai politik menjadi satu-satunya jalur untuk menentukan Calon Presiden dan Wakil Presiden berarti telah menghalangi dan menutup hak warga negara untuk memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam pemerintahan secara demokratis dan merampas kedaulatan rakyat melalui dominasi partai politik.
Pasal 1 ayat (4) UU No 42 Tahun 2008 atau UU PILPRES berbunyi sebagai berikut:
“Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden selanjutnya disebut Pasangan Calon adalah peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang telah memenuhi persyaratan.”
Pasal 8 UU PILPRES berbunyi sebagai berikut:
Calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik..”

Pasal 9 UU PILPRES berbunyi sebagai berikut:
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES
”Bakal Pasangan Calon didaftarkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik”

Apabila Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES tersebut dibaca secara bersamaan berarti pemahamannya jelas bahwa SATU-SATUNYA mekanisme atau jalur untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden adalah melalui usulan partai politik atau gabungan partai politik. Atau dengan kata lain, menurut ketentuan tersebut hak untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah hak eksklusif partai dan tidak ada kemungkinan sama sekali bagi pasangan calon perseorangan atau indenpenden di luar dari yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik tersebut.

Sementara itu, Konstitusi Republik Indonesia menjamin adanya hak-hak warganegara berupa persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat [1]), hak untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (Pasal 28 D ayat (1),  dan hak untuk hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat (3), serta hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi (Pasal 28 I ayat [2]). Semuanya itu merupakan bentuk dari perwujudan kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat [2]).

Jelas bahwa hak-hak tersebut ada dan diakui oleh UUD 1945. Sebagai satu kesatuan yang utuh, hak-hak  yang diatur dan dijamin oleh UUD 1945 tidak dapat saling menegasikan dengan hak-hak lain yang juga diatur UUD 1945. Karenanya, hak partai politik untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden tidak boleh menjadi hak eksklusif partai dan harus tetap membuka peluang hak warganegara untuk menjadi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa melalui mekanisme pencalonan partai.

Para Pemohon mengakui bahwa UUD 1945 memberikan hak konstitusional kepada partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum Pemilihan Umum dilaksanakan. Jadi tidak ada maksud dari Para Pemohon untuk mempersoalkan hak ini. Yang menjadi persoalan adalah undang-undang yang mengatur tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden atai UU Pilpres ternyata menyimpang dan melampaui maksud dan jaminan konstitusi. UU PILPRES juga telah diskriminatif karena memberikan hak eksklusif kepada partai politik di satu sisi dan di sisi lain menutup hak-hak warganegara untuk memilih tidak mempergunakan partai politik sebagai saluran aspirasi untuk demokrasi.

Oleh karena itu, Para Pemohon mempersoalkan aturan Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menutup hak dan peluang warganegara untuk menjadi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, serta menutup hak warga negara untuk dapat menentukan pilihannya terhadap Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen (tanpa melalui jalur partai politik).

Para Pemohon berpendapat bahwa UUD 1945 tidak melarang pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden independen atau melalui jalur non-Parpol. Artinya, keberadaan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan membaca UUD 1945 secara holisitik dan mengkaitkan pasal demi pasal satu sama lain, maka keberadaan Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 bukan penghalang bagi Calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen.

Sementara itu, telah terdapat keadaan hukum baru yang dibentuk oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No 5/PUU-V/2007 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan putusan tersebut menyatakan “memang senyatanya pencalonan secara perseorangan tidak bertentangan dengan UUD 1945” (calon independen, non-partai). Artinya, sebagai norma, calon perseorangan atau calon independen telah diakui dan diterima. Ketika norma ini berlaku untuk pemilihan kepala daerah dan tidak berlaku untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, maka hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum.

Melalui Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir Konstitusi (constitution interpreter) juga telah memberikan tafsiran mengenai makna pelaksanaan demokrasi (sebagaimana disebut dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945). Mahkamah Konstitusi telah memberi tafsir pelaksanaan demokrasi dalam kaitannya dengan pemilu eksekutif (di daerah melalui pilkada) bahwa pemilu tersebut tidak boleh menutup peluang adanya calon perseorangan karena partai politik hanyalah salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi, sehingga adalah wajar apabila dibuka partisipasi dengan mekanisme lain di luar parpol untuk penyelenggaraan demokrasi.

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden memiliki karakteristik yang sama dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yakni sama-sama memilih pemimpin eksekutif. Yang berbeda hanyalah cakupannya, yang satu nasional, yang lain lokal atau regional. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pilkada berbeda dengan Pemilu legislatif yang memilih wakil rakyat di DPR atau DPRD melalui calon dari parpol atau memilih DPD melalui calon perseorangan. Oleh karena itu, norma yang berlaku untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sama dengan Pilkada yakni memilih pasangan calon dimana pasangan calon itu tidak hanya berasal dari usulah partai politik saja tapi juga harus terbuka bagi calon perseorangan.

Dengan demikian, karena pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen tidak bertentangan dengan UUD 1945; dan Setiap warganegara berhak mendapatkan jaminan persamaan kedudukan dan kesempatan dalam hukum dan pemerintahan tanpa diskriminasi; serta Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 bukan penghalang bagi adanya calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen; maka ketentuan Pasal 1 ayat (4) Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU Pilpres yang menutup kemungkinan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen, telah melanggar hak-hak para Pemohon yang dijamin dalam UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28 I ayat (2) jo Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Mengacu pada dasar pemikiran yang dibentuk melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No 5/PUU-V/2007 tentang Pemilihan Kepala Daerah maka untuk persoalan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yang menjadi persoalan inkonstitusionalitas-nya adalah frasa “yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik” dalam Pasal 1 ayat (4) UU Pilpres, “oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik” dalam Pasal 8 UU PILPRES, frasa “oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR”, dan keseluruhan frasa dalam Pasal 13 ayat (1) UU Pilpres. Frasa-frasa ini secara mandiri tidak bermasalah, namun karena diletakkan dalam susunan kalimat sebagaimana pada pasal-pasal tersebut maka diperoleh pengertian yang inkonstitusional. Oleh karenanya, dengan menyatakan frasa-frasa tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka UU Pilpres dapat menjadi konstitusional meskipun harus diikuti dengan pembentukan norma baru dalam UU tersebut.

Oleh karena itu, dengan menyatakan frasa-frasa tersebut di atas inkonsititusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka bunyi Pasal-Pasal tersebut menjadi sebagai berikut:

§  Pasal 1 ayat (4) menjadi:
“Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden selanjutnya disebut Pasangan Calon adalah peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang telah memenuhi persyaratan.”
§  Pasal 8 UU PILPRES menjadi:
“Calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan.”

§  Pasal 9 UU PILPRES menjadi:
“Pasangan Calon diusulkan sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
§  Pasal 13 ayat (1) UU Pilpres ditiadakan

Demikian ringkasan permohonan ini. Selanjutnya Para Pemohon akan menguraikan isi dari permohonan secara lengkap.


III.  KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


1.    Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan : “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya  dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

2.    Bahwa selanjutnya Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu”.

3.    Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, maka Mahkamah Konstitusi mempunyai hak atau kewenangannya untuk melakukan pengujian undang-undang (UU) terhadap UUD yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : (a) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD RI tahun 1945”.

4.    Bahwa oleh karena objek permohonan Hak Uji ini adalah UU RI No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, maka berdasarkan peraturan tersebut di atas Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan ini.


IV. LEGAL STANDING PARA PEMOHON


5.    Pasal 51 ayat (1) UU No 24 Tahun 2002 tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi:
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan   konstitusionalnya   dirugikan   oleh   berlakunya    undang-undang,   yaitu : (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara.”

6.    Sementara itu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No 006/PUU-III/2005 telah memberikan penjelasan mengenai hak konstitusional dan kerugian konstitusional sebagai berikut:

1)    adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
2)    bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
3)    bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
4)    adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
5)    adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

7.    Bahwa Pemohon I adalah pemohon perseorangan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf (a) UU No 24 Tahun 2002 tentang Mahkamah Konstitusi. Pemohon I merupakan Warga Negara Indonesia yang hendak mempergunakan haknya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan menjadi calon Presiden Republik Indonesia. Pemohon I adalah aktifis pro demokrasi yang selama ini bergiat membela kepentingan masyarakat tertindas, menyumbangkan pemikiran untuk kemajuan bangsa melalui lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan di luar partai politik.

8.    Pemohon I memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden dan dipilih oleh rakyat Indonesia. Dalam menjalankan haknya Pemohon I memperoleh jaminan atas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat [1]        UUD 1945), jaminan untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945),  jaminan untuk memperoleh memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat [3] UUD 1945), dan hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi (Pasal 28 I ayat [2] UUD 1945). Semuanya itu merupakan salah bentuk dari perwujudan kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat [2] dan Pasal 6 A ayat [1] UUD 1945).

9.    Selanjutnya, Pemohon II dan Pemohon III adalah pemohon perseorangan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf (a) UU No 24 Tahun 2002 tentang Mahkamah Konstitusi. Pemohon II dan Pemohon III merupakan Warga Negara Indonesia yang hendak mempergunakan haknya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan melalui Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan menggunakan hak pilihnya. Pemohon II dan III akan mempergunakan haknya memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan mempertimbangkan kualitas dan karya-karyanya para calon tersebut terhadap bangsa ini. Pemohon II dan Pemohon III sadar bahwa ketika menggunakan haknya untuk memilih calon presiden dan wakil presiden yang dipilih adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden dan bukan partai. Hak Para Pemohon untuk memilih wakilnya dari partai dapat digunakan pada pemilihan umum DPR. Namun pada saat pemilihan presiden dan wakil presiden, Pemohon II dan Pemohon III ingin memilih calon pemimpin yang dipercaya oleh rakyat dan bukan sekedar dipercaya oleh partai politik. Pemohon II dan Pemohon III bukan anggota partai politik, tidak berafiliasi dengan partai politik dan tidak mendukung partai politik apapun. Oleh karena itu, Pemohon II dan Pemohon III tidak pernah memberikan mandat kepada partai politik untuk menyediakan pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk kemudian disodorkan kepada para Pemohon melalui pemilihan umum untuk dipilih.

10.  Pemohon II dan Pemohon III memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan cara mempergunakan hak pilihnya. Dalam menjalankan haknya Pemohon II dan Pemohon III memperoleh jaminan atas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat [1]      UUD 1945), jaminan untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945),  jaminan untuk memperoleh memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat [3] UUD 1945), dan hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi (Pasal 28 I ayat [2] UUD 1945). Semuanya itu merupakan salah bentuk dari perwujudan kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat [2] DAN Pasal 6 A ayat [1] UUD 1945).

11.  Dengan demikian jelas, Para Pemohon memiliki hak yang dijamin oleh UUD 1945.

12.  Kemudian, akibat adanya ketentuan dalam Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (2) UU No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilhan Umum Presiden dan Wakil Presiden (untuk selanjutnya disebut UU PILPRES), maka hak Para Pemohon untuk memperoleh persamaan kedudukan dan kesempatan tanpa diskriminasi untuk menjadi atau memilih calon Presiden dan Calon Presiden perseorangan atau independen menjadi terlanggar. Sebab Pasal-Pasal tersebut secara tegas menutup kemungkinan adanya calon perseorangan atau independen diluar pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik.

13.  Hak para Pemohon merupakan hak yang spesifik, yakni, hak untuk dipilih dan hak untuk memilih dengan kedudukan dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi. Hak ini bersifat potensial dimana ketika Pemohon I akan menggunakan haknya untuk menjadi salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa melalui partai politik maka hak tersebut terhalangi oleh ketentuan UU PILPRES yang diuji. Demikian pula halnya dengan Pemohon II dan Pemohon III, ketika tiba saatnya masa pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, Para Pemohon ini tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden yang tidak diusulkan oleh partai politik meskipun memiliki kapabilitas menjadi pasangan calon. Hak Pemohon II dan Pemohon III juga dihalangi karena Para Pemohon dihadapkan pada suatu pilihan hasil seleksi partai yang tentunya membawa kepentiangan partai, sementara tidak ada alternatif munculnya pilihan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diseleksi melalui dukungan riil masyarakat.

14.  Bahwa antara ketentuan Pasal-Pasal yang diuji dengan kerugian konstitusional Para Pemohon memiliki hubungan sebab akibat. Sehingga, ketika ketentuan yang diuji Mahkamah Konstitusi dikabulkan maka bunyi ketentuan pasal-pasal UU PILPRES yang diuji tidak lagi menyatakan bahwa satu-satunya jalur untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden adalah melalui usulan partai politik atau gabungan partai politik dan menutup kemungkinan calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen.

V. POKOK PERMOHONAN

A. Calon Presiden dan Wakil Presiden Perseorangan atau Independen Tidak Bertentangan dengan UUD 1945
1. UUD 1945 Tidak Melarang Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Independen
1.    Adanya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang tidak berasal dari partai politik atau gabungan partai politik, atau disebut juga calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau Independen, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
2.    UUD 1945 memang tidak mengatur dan tidak menyebut mengenai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen. Namun bukan berarti tidak disebutnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen membuat keberadaannya menjadi melanggar UUD 1945. Artinya, karena tidak disebut bukan berarti tidak boleh. Sebagai contoh, keberadaan wakil kepala daerah entah itu wakil gubernur maupun wakil bupati, tidak disebutkan dalam UUD 1945. Namun, adanya jabatan-jabatan tersebut tidak lantas membuat jabatannya dan undang-undang yang mengatur mengenai jabatan tersebut menjadi inkonstitusional.
3.    Sementara itu, UUD 1945 menjamin persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan dan setiap warga negara berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan tersebut maka dapat dikatakan bahwa UUD 1945 membuka peluang dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi warga negara untuk berpartisipasi memilih atau menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden.
4.    Dengan alasan-alasan tersebut maka Para Pemohon berpendapat bahwa UUD 1945 tidak melarang adanya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden independen atau perseorangan.
2. Ketentuan Pasal 6 A Ayat (2) UUD 1945 Bukan Penghalang Bagi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Perseorangan atau Independen
5.    Bahwa setelah mengkaji UUD 1945 dan menemukan bahwa UUD 1945 menjamin hak warga negara untuk berpartisipasi memilih atau menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden dan tidak ada pengaturan yang eksplisit dalam UUD 1945 yang menyatakan calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen dilarang, maka pertanyaan yang harus dijawab selanjutnya adalah: apakah Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 merupakan penghalang bagi hak warga negara untuk memilih dan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen?
6.    Bahwa ketentuan pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 memang menyatakan:
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Namun, ketentuan pasal tersebut bukan penghalang bagi keberadaan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Artinya, ketentuan Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 tersebut tidak dapat diartikan sebagai larangan untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di luar usulan Parpol atau gabungan parpol.
7.    Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 memang merupakan pasal dalam konsitusi yang memberikan hak konstitusional kepada partai politik untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan pemilu, disamping jaminan hak konstitusional kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan hak-hak konstitusional lain yang diberikan kepada alat-alat negara seperti Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan dan sebagainya.

8.    Oleh karena itu, Para Pemohon sama sekali tidak mempersoalkan keberadaan pasal 6 A ayat (2) UU D 1945 ini dan tidak mempersoalkan hak konstitusional yang diberikan UUD 1945 kepada partai politik. Namun, Para Pemohon berpendapat bahwa, Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 tidak memberikan hak eksklusif kepada partai politik untuk menjadi satu-satunya saluran aspirasi warganegara di dalam demokrasi yang kemudian menjadi hak eksklusif partai untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

9.    Jadi, yang harus ditegaskan disini adalah, selain memang partai politik memiliki hak untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, namun hak tersebut tidak boleh menutup hak warga negara dan memang tidak dimaksudkan demikian. Apabila kemudian pelaksanaan hak partai tersebut menjadi eksklusif, dimonopoli menjadi satu-satunya jalur atau mekanisme mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden dan menutup hak warga negara untuk mendapatkan persamaan kedudukan dalam pemerintahan, maka aturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan yang seperti itu telah melampaui maksud dari diberikannya hak ini kepada partai politik.

10.  Oleh karena itu, untuk memperjelas kedudukan dan substansi permohonan Para Pemohon, sekali lagi kami menegaskan bahwa Para Pemohon tidak mempersoalkan hak partai politik untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden namun para Pemohon mempersoalkan aturan dalam UU No 42 Tahun 2008 yang menjadi objek perkara yang menutup hak para pemohon untuk menjadi atau memilih pasangan calon presiden dan wakil Presiden selain dari yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

11.  Untuk memahami argumentasi ini, maka Para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi yang terhormat untuk mempertimbangkan beberapa hal yang disampaikan Para Pemohon, dalam menafsirkan Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 sebagaimana yang akan diuraikan selanjutnya di bawah ini.

12.  Bahwa untuk menafsirkan Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 penting untuk melihat terlebih dahulu kedudukan pasal tersebut dalam UUD 1945 dan kaitannya dengan pasal-pasal lainnya sebagaimana dalam tabel berikut ini:


UUD 1945
Pasal 6 A ayat (2): Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Pasal 6 A ayat (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu  pasangan secara langsung oleh rakyat.
Pasal 1 ayat (2):
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar.
Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28 D ayat (1):
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Pasal 28 D ayat (3):
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Pasal 28 I ayat (2):
Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

13.  Bahwa untuk menafsirkan Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 dapat mempergunakan metode-metode penafsiran antara lain penafsiran holistik, sistematis, holistik-tematis-sistematis, gramatikal, ekstensif, sosiologis dan teleologis.

14.  Dengan mempergunakan penafsiran holistik, penafsiran sistematis dan penafsiran holistik tematis-sistematis, yakni menafsirkan suatu ketentuan dengan memahaminya secara utuh, satu kesatuan, dan berkaitan dengan pasal-pasal lain di dalam aturan tersebut, maka diperoleh pemahaman atas Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 sebagai berikut:

a.    Bahwa benar Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 memberikan hak konstitusional bagi Partai Politik untuk mengajukan usulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan Pemilu. Namun, hak konstitusional tersebut tidak menjadi hak eksklusif atau hak yang hanya dimiliki semata-mata oleh Partai Politik. Karena itu, Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 merupakan preferensi bagi proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Karena namanya preferensi, maka pilihan atau kemungkinan lain di luar preferensi tersebut selayaknya masih terbuka.

b.    Adanya ketentuan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 menunjukkan bahwa disamping hak parpol untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan pemilu terdapat pula hak warga negara untuk memilih secara langsung (Pasal 6 ayat [1]), hak untuk  memiliki persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat [1]), hak untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (Pasal 28 D ayat (1),  dan hak untuk memperoleh memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat (3), serta hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi (Pasal 28 I ayat [2]). Semuanya itu merupakan salah bentuk dari perwujudan kedaulatan di tangan rakyat (Pasal 1 ayat 2).

c.    Penafsiran holistik, sistematis dan holistik tematis-sistematis terhadap Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 ini juga dapat dikaitkan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dan penafsiran makna pelaksanaan demokrasi oleh Mahkamah Konsitusi dalam pasal tersebut. Dalam Putusan MK No 5/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi memberi tafsir terhadap frasa “secara demokratis” berarti juga membuka kesempatan bagi calon perseorangan. Dalam rumusan Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 itu harus dipahami sebaai pasal yang tetap membuka peluang adanya calon perseorangan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden jika kita menginginkan Pemilu tersebut berjalan secara demokratis.

d.    Dengan kata lain, diberikannya hak parpol untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan wakil presiden sebelum pelaksanaan pemilu oleh UUD 1945 tidak boleh lantas ditafsirkan dapat menutup hak lainnya di dalam konstitusi. Hak parpol tersebut memiliki kedudukan yang sama dan seimbang dengan hak warga negara yang dijamin oleh UUD 1945. Sebagai konstitusi yang utuh maka pada hakikatnya suatu hak dalam UUD 1945 tidak boleh mengurangi atau bahkan menegasikan hak yang lain. Oleh karena kedua hak ini memiliki kedudukan yang sama, maka “memberikan kesempatan warga negara untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa melalui parpol (calon perseorangan atau independen)”, tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Sebaliknya, “menutup kesempatan untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa melalui parpol”, seperti yang dilakukan oleh ketentuan Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU Pilpres, adalah inkonstitusional.

e.    Oleh karena itu, dengan mempergunakan penafsiran penafsiran holistik, penafsiran sistematis dan penafsiran holistik tematis-sistematis, Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 dapat dipahami bahwa hak partai untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tidak eksklusif, tidak menjadi satu-satunya milik partai dan tidak menjadi monopoli partai. Sehingga, Pasal ini tidak dimaksudkan untuk menutup peluang calon Presiden dan Wakil Presiden yang tidak menempuh jalur ini.

15.  Selanjutnya, dengan mempergunakan penafsiran gramatikal, Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 dapat pula dipahami sebagai pasal yang hanya mengatur soal “waktu”. Yakni, waktu bagi parpol atau gabungan parpol mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah “sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Karena Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 tersebut merupakan pasal yang mengatur  secara deskriptif mengenai adanya hak partai politik dan secara imperatif mengatur soal waktu dilaksanakannya hak tersebut, maka Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 tidak menyatakan dirinya sebagai pasal yang memberikan hak eksklusif bagi parpol untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

16.  Di samping itu, dalam menafsirkan semantik dari Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945, terdapat beberapa penafsiran. Apabila mengabungkan metode penafsiran sistematis di atas dengan penafsiran gramatikal dan penafsiran ekstensif maka Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 dipahami sebagai berikut:

–          Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden [yang] diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum [dilakukan] sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
ATAU
–          Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden [dapat] diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
ATAU
–          Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden [dapat] diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum [dan dilakukan] sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Dan bukan sebagai berikut:
–          Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden [hanya dapat] diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
ATAU
–          Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden [harus] diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Dengan penafsiran ini, maka Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 merupakan pasal yang menyatakan bahwa parpol berhak mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, dan apabila hal tersebut dilakukan harus sebelum pemilu. Dengan konstruksi demikian, Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 ini tidak dimaksudkan untuk menempatkan usulan partai paolitik menjadi satu-satu mekanisme dan menutup segala kemungkinan lain termasuk pencalonan perseorangan atu independen di luar parpol.

17.  Dengan mempergunakan penafsiran teleologis dan penafsiran sosiologis yakni penafsiran yang memperhatikan tentang tujuan aturan perundang-undangan itu, dengan mengingat dan memperhatikan keadaan kebutuhan masyarakat serta mengikuti perubahan keadaan masyarakat dan perkembangan hukum dari masa ke masa, maka Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 dapat ditafsirkan sebagai ketentuan yang tidak menghalangi kemungkinan adanya calon independen sebagaimana diuraikan berikut ini:

a.    Bahwa calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah, telah diakui, dilaksanakan, didukung dan diterima dengan baik oleh masyarakat dan hukum. Artinya, keberadaan calon non-partai telah menjadi norma yang diakui dan berlaku di masyarakat.
b.    Perkembangan hukum yang dihasilkan oleh Putusan MK dalam Putusan No 5/PUU-V/2007 yang mengabulkan permohonan untuk dimungkinkannya calon perseorangan di luar dari usulan parpol atau gabungan parpol dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), telah melahirkan realitas baru dalam dinamika ketatanegaraan. Meskipun berbeda objek dan dasar hukum konstitusinya, namun substansi dasar pemikiran adanya calon perseorangan atau calon independen melalui Putusan MK tersebut dapat digunakan dalam perkara ini.
c.    Oleh karena itu, secara teleologis dengan mengikuti perkembangan hukum yang terjadi masyarakat telah menghendaki dibukanya kesempatan bagi calon perseorangan atau independen. Dengan demikian, Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 harus dibaca sesuai dengan keadaan saat ini dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yakni harus tetap membuka kesempatan bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk diusulkan di luar dari usulan parpol atau gabungan parpol.

18.  Dengan mempergunakan penafsiran-penafsiran tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa maksud dari Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 adalah memberi hak pada parpol di samping jaminan hak yang memang telah diatur oleh UUD 1945 dan dimiliki oleh warga negara.
19.  Kemudian, karena Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 tidak bermaksud mempertentangkan dan menutup hak-hak warga negara dalam UUD 1945 maka Pasal 6 A ayat (2) tidak dimaksudkan sebagai hak eksklusif yakni hak yang dimiliki hanya oleh parpol.
20.  Oleh karena itu, Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 bukan penghalang bagi warga negara untuk memilih atau menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden melalui jalur non-partai atau perseorangan atau independen.
3. Warganegara Berhak Menjadi dan Memilih Calon Presiden dan Wakil Presiden Perseorangan atau Independen Karena UUD 1945 Menjamin Persamaan Kedudukan di dalam Hukum dan Pemerintahan Tanpa Diskriminasi
21.  Bahwa para Pemohon memiliki hak-hak yang dijamin oleh UUD 1945. Sebagai warga negara Indonesia jelas bahwa para pemohon memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan termasuk dalam hal pemilu. Pelaksanaan hak ini dijamin oleh UUD 1945 dalam bentuk pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum jaminan atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan, serta jaminan untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi (vide Pasal 27 ayat [1], Pasal 28 D ayat [1] dan ayat [3] serta Pasal 28 I ayat [2]). Segala pelaksanaan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, termasuk dalam hal pemilu ini dilakukan dalam kerangkan perwujudan kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat [2] UUD 1945).

22.  Hak yang dimiliki oleh Para Pemohon ini merupakan hak-hak dasar warga negara yang ada karena kedudukannya sebagai warga negara.

23.  Bahwa Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D (3) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 merupakan pasal-pasal yang mengatur mengenai hak warga negara dan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam memahami pasal-pasal tersebut kita dapat merujuk pada instrumen HAM Interantional Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No 12 Tahun 2005 sebagai berikut:

a.    Pasal 25 ICCPR menyatakan:
Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the distinctions mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions:
(1) To take part in the conduct of public affairs, directly or through freely chosen representatives;
(2) To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the will of the electors;
(3) To have access, on general terms of equality, to public service in his country.
b.    Kemudian dalam Pasal 25 ICCPR ini dijelaskan lebih lanjut dengan General Comment No 25 (General Comment Human Rights Committee No. 25: The right to participate in public affairs, voting rights and the right of equal access to public service [1996] – vide Bukti P-4).
c.    Paragraph 17 General Comment No 25 tersebut menegaskan bahwa hak seseorang untuk berpartisipasi dalam pemilu tidak boleh dibatasi secara tidak masuk akal dengan mensyaratkan kandidat sebagai anggota partai. Apabila kandidat disyaratkan untuk mendapatkan jumlah minimum pendukung, syarat ini harus masuk akal dan tidak boleh menjadi penghalang bagi pencalonan.
d.    Bunyi Paragraph 17 General Comment No 25 adalah sebagai berikut:
The right of persons to stand for election should not be limited unreasonably by requiring candidates to be members of parties or of specific parties. If a candidate is required to have a minimum number of supporters for nomination this requirement should be reasonable and not act as a barrier to candidacy. Without prejudice to paragraph (1) of article 5 of the Covenant, political opinion may not be used as a ground to deprive any person of the right to stand for election.”
e.    Oleh karena itulah maka Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D (3) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 dapat ditafsirkan sebagai pasal-pasal yang menjamin bahwa setiap warga negara berhak untuk memilih dan menjadi calon perseorangan dalam pemilu.

24.  Dengan dasar pemikiran bahwa Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 bukanlah pasal yang dimaksudkan untuk memberi hak parpol sebagai satu-satunya wujud partisipasi masyarakat dalam demokrasi, maka para pemohon berhak untuk mewujudkan partisipasinya memilih dan menjadi calon Presiden baik yang melalui usulan parpol atau gabungan parpol maupun yang melalui perseorangan atau independen.

25.  Oleh karena itu, kedua ketentuan yakni ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan ketentuan dalam vide Pasal 27 ayat [1], Pasal 28 D ayat [1] dan ayat [3] serta Pasal 28 I ayat [2] UUD 1945 harus berjalan dan dilaksanakan secara beriringan. Sehingga, UUD 1945 tidak menghalangi warga negara untuk memilih atau menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden melalui jalur non-partai atau perseorangan atau independen.

4. Kesimpulan Bagian Pertama
26.  Dengan demikian, karena tidak ada ketentuan UUD 1945 yang melarang adanya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden independen atau perseorangan, kemudian Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 bukan penghalang keberadaan calon Presiden dan Wakil Presiden independen atau perseorangan dan setiap warga negara berhak memperoleh kedudukan dan kesempatan yang sama dalam berpartisipasi dalam pemerintahan tanpa diskriminasi; maka dapat disimpulkan bahwa norma adanya calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen adalah norma yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.

B. Pasal 1 ayat (4) UU No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU PILPRES) Bertentangan dengan UUD 1945
1. Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES Menghalangi dan Menutup Peluang adanya Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Independen
27.  Bahwa Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES Menghalangi dan Menutup Peluang adanya Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Independen.

Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES berbunyi sebagai berikut:
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden selanjutnya disebut Pasangan Calon adalah peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang telah memenuhi persyaratan.”
28.  Bahwa pengertian Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES tersebut menunjukkan Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanyalah pasangan yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan tidak mungkin ada pasangan calon diluar dari yang diusulkan oleh Partai Politik.

Artinya, ketentuan Pasal 1 ayat (4) tersebut menentukan bahwa satu-satunya jalur untuk menjadi calon Presiden adalah melalui parpol dan gabungan parpol

29.  Sementara itu, tidak ada satu ketentuan-pun di dalam UU Pilpres yang mengatur adanya kesempatan bagi warga negara Indonesia untuk menjadi peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tanpa melalui usulan parpol atau gabungan parpol.  Bahkan yang ada adalah ketentuan yang semakin menutup kesempatan tersebut, karena tata cara pengajuan-pun harus melalui partai politik (Pasal 8, Pasal 9, Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES). Hal ini berarti bahwa tidak ada kesempatan sama sekali bagi pasangan calon perseorangan atau independen (yang tidak melaui jalur usulan partai politik atau gabungan partai politik) untuk bisa maju menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Sehingga, meskipun terdapat pasangan warga negara yang memperoleh dukungan signifikan dari masyarakat (misalnya dibuktikan dengan pernyataan dukungan seperti dalam Pemilu DPD atau calon perseorangan Pilkada) untuk diusulkan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden, maka dengan adanya ketentuan pada Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES, dengan serta merta pasangan ini akan ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum. Apalagi kemudian terdapat ketentuan lanjutan dalam Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES yang semakin menunjukkan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden harus ditentukan dan diusulkan oleh partai politik.

Dengan kata lain, meskipun terdapat keinginan dan usulan yang signifikan dari kelompok masyarakat untuk mengusulkan pasangan warga negara menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden, maka menurut ketentuan pasal tersebut di atas, usulan dari masyarakat atau kelompok masyarakat tersebut tidak dapat diterima karena satu-satunya jalan adalah harus melalui partai politik dan disetujui oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi ketentuan Pasal 9 UU Pilpres. Sehingga hak warga negara untuk mengusulkan pasangan calon melalui dukungan atau usulan langsung telah diambil alih secara eksklusif oleh parpol.

2. Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES Bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) dan (3), Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945
30.  Bahwa sebagaimana telah dijelaskan di atas, Para Pemohon memiliki hak untuk  memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum jaminan atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan, serta jaminan untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi.
Hak-hak ini merupakan hak-hak yang dijamin dalam UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D (3) dan Pasal 28 I ayat (2).
31.  Ketentuan yang dimaksud Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES telah merugikan hak konstitusional Para Pemohon, sebab:
(a)    ketentuan yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES tersebut telah menentukan bahwa satu-satunya jalur untuk menjadi calon Presiden adalah melalui parpol dan gabungan parpol;
(b)    warga Negara tidak dapat secara mandiri dan berkelompok mengajukan atau mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa melalui partai;
(c)    hak warga negara untuk mengusulkan calon telah diambil secara eksklusif oleh parpol karena ketentuan yang terkandung dalam kedua ayat pada pasal tersebut secara tegas mengatur demikian;
(d)    telah terjadi diskriminasi terhadap warga negara akibat hak eksklusif yang hanya diberikan oleh parpol untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dan di sisi lain menutup peluang warga negara untuk menjalankan hak konstitusionalnya secara sempurna.
32.  Secara jelas, Pemohon I yang merupakan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan hendak mencalonkan diri sebagai calon Presiden tanpa melalui jalur partai politik, hak konstitusionalnya dirugikan. Kerugian ini bersifat potensial karena ketika Pemohon I akan mendaftarkan diri menjadi Calon Presiden ke Komisi Pemilihan Umum maka dipastikan akan ditolak dengan alasan ketentuan Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES menyatakan satu-satunya mekanisme pencalonan adalah melalui parpol.
Padahal, Pemohon I memenuhi syarat konstitusi sebagaimana yang diatur Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, yakni “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.” Syarat-syarat selanjutnya dibuat dalam undang-undang namun seharusnya dipandang sebagai penjabaran dari syarat konstitusi tersebut dan bukannya menghalangi pencalonannya.
Jikapun kemudian Pemohon I memiliki dukungan yang signifikan, yang diperoleh melalui mekanisme seperti dalam calon perseorangan Pilkada ataupun calon anggota DPD, maka dukungan tersebut tidak berarti. Sebab, Pasal 1 ayat (4) beserta aturan lanjutannya yakni Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES menutup peluang tersebut.
33.  Dengan demikian, apabila seseorang memiliki dukungan yang cukup secara langsung dari masyarakat, namun tidak disukai atau tidak mau tunduk pada kemauan dan kepentingan pengurus parpol-parpol, maka peluang orang tersebut menjadi tertutup. Bagi sebuah demokrasi dengan sistem presidensil, calon presiden yang dihasilkan dari sistem seperti ini akhirnya akan tunduk pada kemauan parpol-parpol yang mendukungnya bukannya tunduk pada rakyat yang telah memilihnya. Sehingga, dengan model seperti ini esensi kedaulatan rakyat dalam pilpres menjadi hilang digantikan kedaulatan parpol.
34.  Demikian pula halnya dengan Pemohon II dan Pemohon III yang dirugikan akibat terhalangnya hak untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden perseoragan atau independen yang memenuhi syarat konstitusi Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dan memperoleh dukungan langsung dari rakyat.
35.  Pemohon II dan Pemohon III terpaksa harus memilih pasangan calon yang telah melalui seleksi internal partai politik atau melalui kesepakatan-kesepakatan petinggi partai-partai politik.
36.  Pemohon II dan Pemohon III, yang merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih, menjadi terhalangi haknya untuk dapat bersama-sama warga negara lainnya mengusulkan pasangan calon tanpa melalui parpol sebagai salah satu wujud partisipasi. Dengan hanya ada satu jalur yakni harus melalui parpol, Pemohon II dan Pemohon III merasa dirugikan. Sebab, ketika sampai pada waktu pemilu, Pemohon II dan III harus memilih calon hasil pilihan pengurus parpol semata tanpa ada alternatif pilihan lain melalui jalur atau mekanisme lain. Artinya hak pemohon untuk memilih telah diambil sebagian secara eksklusif oleh petinggi parpol-parpol.
37.  Akhirnya, ukuran yang dipergunakan untuk menyaring dan menseleksi warga negara terbaik yang akan menjadi pemimpin adalah kepentingan dan kemauan partai politik. Sementara itu warga negara tidak dapat berpartisipasi langsung karena haknya telah dipasung dan diklaim oleh parpol.
38.  Padahal, UUD 1945 telah jelas mengatur dan memberikan pembagian yang adil terkait pelaksanaan Pemilu, yakni sebagaimana diatur dalam Pasal  22 E UUD 1945 tentang Pemilu.
Pasal 22 E ayat (3) UUD 1945 telah menegaskan bahwa:
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”

Kemudian Pasal 22 E ayat (4) UUD 1945 telah juga mengatur bahwa:
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”
Tidak ada satupun Pasal dalam UUD 1945 yang menyatakan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah parpol atau gabungan Parpol. Jadi,  peserta pemilihan umum untuk memilih Presiden dan calon wakil presiden merupakan pasangan calon, dan sekali lagi bukan parpol. Sebab, parpol sudah ada bagiannya dalam pemilu DPR dan DPRD.
Lebih jauh, penegasan bahwa peserta pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden bukanlah parpol diatur dalam UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pemohon dalam sengketa pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden adalah pasangan calon peserta pemilihan umum, bukan parpol. Berbeda dengan pemohon untuk dalam sengketa pemilu DPR, yakni partai politik peserta pemilihan umum.
Pasal 74 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:
“Pemohon adalah:
1. perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
2. peserta pemilihan umum;
3. pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
4.    partai politik peserta pemilihan umum.”

Dari ketentuan ini jelas terlihat bedanya, siapa peserta masing-masing pemilihan umum serta apa bentuk dan peran masing-masing.
39.  Dengan melihat konstruksi Pasal 22 E yang mengatur soal pemilu jo Pasal 6 A ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 74 UU 24 tahun 2004, maka jelas terlihat peserta pemilu DPR dan DPRD adalah parpol, peserta pemilu DPD adalah perseorangan, sementara peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah pasangan calon.
40.  Dengan membandingkan pemilihan umum dan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA), maka peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan peserta PILKADA memiliki prinsip yang serupa, yakni pesertanya bisa dari usulan partai politik atau gabungan partai politik dan bisa juga dari perseorangan, karena pesertanya adalah “pasangan calon”.
41.  Di samping itu, sistem pemerintahan Indonesia merupakan sistem pemerintahan presidensiil dimana menurut Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini juga sebagai esensi dari kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Sistem pemerintahan Indonesia bukanlah sistem parlementer dimana pemerintah dibentuk oleh parlemen atau dari kesepakatan parpol-parpol pemenang pemilu.
42.  Dengan konstruksi argumen seperti di atas, maka Para Pemohon berpendapat Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES bertentangan dengan hak-hak Para pemohon yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D (3) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945.

3. Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
43.  Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES bertentangan prinsip kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
44.  Bahwa muatan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengandung prinsip demokrasi dimana rakyat ditegaskan sebagai pemilik kedaulatan dan bukannya partai politik ataupun golongan atau kelompok tertentu.
45.  Bahwa kemudian, esensi dari Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung yang ditetapkan pasca amandemen UUD 1945 merupakan usaha untuk menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Telah menjadi konsensus bersama bahwa segala pelaksanaan pemilu di negeri ini harus dilaksanakan secara demokratis, baik itu pemilu legislatif untuk memilih DPR, DPRD, dan DPD, maupun pemilu eksekutif untuk memilih kepala daerah ataupun Presiden dan Wakil Presiden.
46.  Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 5/PUU-VI/2005 telah menentukan bahwa pemilu eksekutif yang demokratis harus membuka peluang bagi calon perseorangan karena norma calon perseorangan ini telah diakui. Putusan tersebut kemudian ditegaskan atau diwujudkan kembali melalui pembentukan UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah yang membuka peluan adanya calon perseorangan dalam Pilkada. Artinya, Mahkamah Konstitusi telah memberi tafsir mengenai demokrasi dan kedaulatan rakyat dan kemudian menjadi norma yang telah berlaku.
47.  Oleh karena itu, Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES yang masih menghalangi dan menutup peluang calon perseorangan atau independen mencederai makna demokrasi. Ketentuan tersebut juga telah mengesampingkan rakyat yang berdaulat dan menggantikannya menjadi kedaulatan partai politik. Seharusnya, kalaupun UUD 1945 memberikan hak bagi partai politik untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden tidak lantas hak rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk mengusulkan calon di luar partai politik menjadi terhapus dan diambil alih sepenuhnya oleh partai politik.
4. Agar tidak Bertentangan dengan UUD 1945 Maka Frasa “yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik” dalam Pasal 1 Ayat (4) Tidak Memiliki Kekuatan Hukum Mengikat
48.  Argumentasi inkonstisionalitas ketentuan Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES di atas, menunjukkan bahwa yang menjadi persoalan bukan pada adanya hak parpol untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil presiden sebelum pemilu, melainkan pada ketentuan di dalam UU PILPRES yang melanggar hak warga negara untuk berpartisipasi, memperoleh kedudukan dan kesempatan dalam proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden karena peluang untuk memilih atau menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa melalui jalur parpol telah ditutup oleh pasal tesebut.

49.  Oleh sebab itu, yang menjadi persoalan inkonstitusionalitas Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES adalah pengertian bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanyalah pasangan yang dicalonkan oleh partai politik yang berarti warga negara dengan persyaratan tertentu tidak dapat mengusulkan pasangan calon. Persoalan ini disebabkan oleh adanya frasa “yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik” dalam pasal tersebut.

50.  Berdasarkan hal tersebut maka Para Pemohon menyatakan frasa “yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik” dalam Pasal 1 ayat (4) UU PIPLRES bertentangan dengan Konstitusi dan karenanya harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum.

51.  Esensi yang Para Pemohon ajukan adalah sama atau konsisten dengan Putusan MK No 5/PUU-V/2007. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:
[3.15.17] Bahwa agar calon perseorangan tanpa melalui parpol atau gabungan parpol dimungkinkan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka menurut Mahkamah beberapa pasal UU Pemda yang dimohonkan pengujian harus dikabulkan sebagian dengan cara menghapuskan seluruh bunyi ayat atau bagian pasal sebagai berikut:
a.     Pasal 56 Ayat (2) berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik” dihapus seluruhnya, karena menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, dengan hapusnya Pasal 56 Ayat (2), Pasal 56 menjadi tanpa ayat dan berbunyi, ”Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”;
b.    Pasal 59 Ayat (1) dihapus pada frasa yang berbunyi, ”yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”, karena akan menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, Pasal 59 Ayat (1) akan berbunyi, Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon”;
c.     Pasal 59 Ayat (2) dihapus pada frasa yang berbunyi, ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, hal ini sebagai konsekuensi berubahnya bunyi Pasal 59 Ayat (1), sehingga Pasal 59 Ayat (2) akan berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”. Dengan demikian, Pasal 59 Ayat (2) ini merupakan ketentuan yang memuat kewenangan parpol atau gabungan parpol dan sekaligus persyaratannya untuk mengajukan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Pilkada;
d.    Pasal 59 Ayat (3) dihapuskan pada frasa yang berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa yang berbunyi, ”yang seluas-luasnya”, dan frasa yang berbunyi, ”dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”, sehingga Pasal 59 Ayat (3) akan berbunyi, Membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.” Dengan demikian, terbukalah kesempatan bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol;

52.  Oleh karena itu, dengan dinyatakannya frasa “yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik” dalam Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES bertentangan dengan Konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum, maka Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES berbunyi sebagai berikut:

“Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden selanjutnya disebut Pasangan Calon adalah peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang telah memenuhi persyaratan.”
5. Kesimpulan Bagian Kedua
53.  Karena adanya frasa “yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik” dalam Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES, maka pasal-pasal tersebut telah menghalangi hak-hak para pemohon untuk memilih atau menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen.
54.  Frasa “yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik” dalam Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES juga telah melanggar prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip demokrasi.
55.  Oleh sebab itu, penghalangan ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak para pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 D ayat (4) dan Pasal 28 I ayat (2) serta pelanggaran prinsip-prinsip dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
56.  Dengan demikian, frasa-frasa sebagaimana tersebut di atas harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

C. Pasal 8 , Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES Bertentangan dengan UUD 1945
1. Tata Cara Pengusulan dan Pendaftaran Pasangan Calon dalam Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES Menghalangi dan Menutup Hak Konstitusional Warga Negara untuk Memilih dan Menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden secara Independen dan Langsung Tanpa Melalui Partai Politik
57.  Kedudukan Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES yang menghalangi dan menutup peluang adanya calon Presiden Perseorangan atau independen tidak berdiri sendiri.

58.  Kehendak agar Partai Politik menjadi satu-satunya jalur dan penentu utama pilihan rakyat terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden dalam UU PILPRES dipertegas oleh Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES.

Pasal 8 UU PILPRES berbunyi sebagai berikut:
“Calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik..”

Pasal 9 UU PILPRES berbunyi sebagai berikut:
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES
”Bakal Pasangan Calon didaftarkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik”

59.  Pasal 8 UU Pilpres mengatur bahwa calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan, dan satu-satunya yang boleh mengusulkan adalah Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.

60.  Pasal 9 UU PILPRES mengatur bahwa Pasangan Calon hanya dapat diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR. Artinya, pilihan rakyat atas calon Presiden dan Wakilnya ditentukan oleh dominasi partai-partai tertentu yang memiliki perolehan kursi atau perolehan suara yang sangat besar. Sementara partai politik lain hanya akan menjadi pelengkap dari partai-partai dominan tersebut. Apalagi rakyat yang secara mandiri mendukung calon tertentu dengan dukungan yang sangat besar menjadi tidak berarti karena harus menyesuaikan dengan keinginan partai dominan tersebut.

61.  Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES mengatur bahwa yang bisa mendaftarkan pasangan calon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanyalah partai politik. Sehingga, sebesar apapun dukungan rakyat terhadap bakal calon Presiden dan Wakil Presiden non-partai politik tidak akan berarti. Sebab, jika pasangan calon tersebut atau para pendukungnya mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum serta merta akan ditolak berdasarkan aturan Pasal ini.

62.  Dengan demikian, jelas bahwa tata cara pengusulan dan pendaftaran pasangan calon dalam pasal 8, pasal 9 dan pasal 13 ayat (1) UU PILPRES menghalangi dan menutup hak konstitusional warga negara untuk memilih dan menjadi calon presiden dan wakil presiden secara independen dan langsung tanpa melalui partai politik.
2. Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES Bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28 D ayat (1) dan (3), Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945

63.  Bahwa sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Para Pemohon memiliki hak-hak yang dijamin oleh UUD 1945.

64.  Dengan mengambil alih keseluruhan argumentasi pada point-point sebelumnya untuk Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES di atas sebagai argumentasi pada pasal-pasal ini, maka jelaslah bahwa ketentuan Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES menghalangi hak-hak warganegara yang memiliki hak memilih dan dipilih yang inging melaksanakan hak-haknya untuk memilih dan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden di luar usulan Partai Politik.

65.  Bahwa inkonstitusionalitas Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES merupakan konsekwensi dari tidak diaturnya ketentuan yang memuat tata cara pengusulan dan pendaftaran bagi calon Presiden dan Wakil Presiden di luar jalur Partai Politik. Apabila Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES bertentangan dengan UUD 1945 maka konsekwensinya Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES juga bertentangan dengan UUD 1945.

66.  Dengan menyatakan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang boleh mengusulkan dan mendaftarakan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti ketentuan-ketentuan tersebut telah melanggar hak Para Pemohon untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum jaminan atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan, serta jaminan untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi yang dijamin Pasal 27, Pasal 28 D ayat (1) dan (3), Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945.

3. Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
67.  Bahwa sama halnya dengan argumentasi untuk Pasal 1 ayat (4) UU PILPRES di atas, aturan tata cara pengusulan dan pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES telah mencederai kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

68.  Apabila ketentuan pasal-pasal tersebut dilaksanakan, maka undang-undang telah menempatkan partai politik sebagai pemegang kedaulatan tunggal di negeri ini dan mengenyampingkan kedaulatan yang sebenarnya berada di tangan rakyat.
69.  Tata cara dalam pasal-pasal tersebut juga bertentangan dengan tafsir demokrasi yang telah dibuat oleh Mahkamah Konstitusi yang telah berlaku, dijalankan dan diwujudkan menjadi norma yang baru di negeri ini.
70.  Oleh sebab itu, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
4. Agar tidak Bertentangan dengan UUD 1945 Maka Frasa “oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik” dalam Pasal 8 UU PILPRES, Frasa “oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR” dalam Pasal 9 UU PILPRES dan keseluruhan Pasal 13 ayat (1) UU PIPLRES Dinyatakan Tidak Memiliki Kekuatan Hukum Mengikat
71.  Ketentuan Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES akan menjadi konstitusional apabila frasa-frasa tertentu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

72.  Oleh karena itu, agar tidak bertentangan dengan UUD 1945 maka frasa “oleh partai politik atau gabungan partai politik” dalam pasal 8 uu pilpres, frasa “oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi dpr atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam pemilu anggota dpr” dalam pasal 9 uu pilpres dan keseluruhan pasal 13 ayat (1) uu piplres dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

73.  Kemudian, pasal-pasal tersebut menjadi berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8 UU PILPRES menjadi:
“Calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan.”

Pasal 9 UU PILPRES menjadi:
“Pasangan Calon diusulkan sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
Pasal 13 ayat (1) UU Pilpres ditiadakan

5. Kesimpulan Bagian Ketiga
74.  Karena adanya frasa maka frasa “oleh partai politik atau gabungan partai politik” dalam pasal 8 UU PILPRES, frasa “oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR” dalam pasal 9 UU PILPRES dan keseluruhan pasal 13 ayat (1) UU PILPRES, maka pasal-pasal tersebut telah menghalangi hak-hak para pemohon untuk memilih atau menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen.

75.  Frasa “oleh partai politik atau gabungan partai politik” dalam pasal 8 UU PILPRES, frasa “oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi dpr atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR” dalam pasal 9 UU PILPRES dan keseluruhan pasal 13 ayat (1) UU PILPRES juga telah melanggar prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip demokrasi.

76.  Oleh sebab itu, penghalangan ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak para pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 D ayat (4) dan Pasal 28 I ayat (2) serta pelanggaran prinsip-prinsip dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

77.  Dengan demikian, frasa-frasa dalam Pasal 8 dan Pasal 9 sebagaimana tersebut di atas dan keseluruhan pasal 13 ayat (1) UU PILPRES harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

D. Perkembangan Norma Hukum Terkait Konstitusionalitas Calon Perseorangan atau Calon Independen
1. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Terdahulu
78.  UUD 1945 merupakan konstitusi yang dinamis yang mengikuti perkembangan keadaan masyarakat dan perkembangan norma hukum.
79.  Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat termasuk pengakuan norma-norma hukum baru baik melalui aturan perundang-undangan maupun putusan Mahkamah Konstitusi.
80.  Bahwa terkait dengan itu, keberadaan calon perseorangan dalam PILKADA baik secara nasional ataupun didahului di Aceh telah menjadi suatu norma baru yang berlaku dan diakui secara luas. Artinya, calon perseorangan yakni calon di luar partai politik secara faktual sudah menjadi norma hukum yang kuat.
81.  Pengakuan utama terhadap keberadaan calon perseorangan ini terletak pada Putusan Mahkamah Konstitusi No 5/PUU-V/2007. Pertimbangan Putusan perkara ini telah memberikan rujukan hukum terhadap bagaimana demokrasi dijalankan di Indonesia.
82.  Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-V/2007 tersebut berbunyi sebagai berikut:
[5.1] Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
[5.2] Menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal-pasal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor 125, TLNRI Nomor 4437), yang hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan dalam Pilkada, yaitu:
• Pasal 56 Ayat (2) yang berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”;
• Pasal 59 Ayat (1) sepanjang mengenai frasa “yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik”.
• Pasal 59 Ayat (2) sepanjang mengenai frasa ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
• Pasal 59 Ayat (3) sepanjang mengenai frasa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa ”yang seluas-luasnya”, dan frasa “dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”.
[5.3] Menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat pasal-pasal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor 125, TLNRI Nomor 4437), yaitu:
• Pasal 56 Ayat (2) yang berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”;
• Pasal 59 Ayat (1) sepanjang mengenai frasa “yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik”;
• Pasal 59 Ayat (2) sepanjang mengenai frasa ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”;
• Pasal 59 Ayat (3) sepanjang mengenai frasa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa ”yang seluas-luasnya”, dan frasa “dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”;
[5.4] Menyatakan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor 125, TLNRI Nomor 4437) yang dikabulkan menjadi berbunyi sebagai berikut:
• Pasal 59 Ayat (1): ”Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon”;
• Pasal 59 Ayat (2): ”Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”;
• Pasal 59 Ayat (3): ”Membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan”.
[5.5] Menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya;
[5.6] Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
83.  Untuk mencapai amar putusan tersebut Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan hal-hal penting yang menjadi rujukan dalam permohonan ini, antara lain:
(a)  Bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 Ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh yang membuka kesempatan bagi calon perseorangan dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, tidaklah bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 (yang mengatur soal prinsip demokrasi dalam PILKADA).
(b)  Bahwa Pasal 67 Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh ( [sic!] seharusnya Pasal 67 ayat [1]) harus dimaknai sebagai penafsiran baru oleh pembentuk undang-undang terhadap ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 (mengenai pelaksanaan demokrasi). Oleh karena itu norma dalam UU Pemerintahan Aceh mengenai calon perseorangan juga harus berlaku di daerah lain agar tidak terjadi dualisme hukum dan perbedaan perlakuan dan kesempatan.
(c)  Bahwa untuk menjamin persamaan hak warga negara sebagaimana dalam Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945, maka dapat dilakukan dengan mengharuskan UU Pemda menyesuaikan dengan perkembangan baru yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang sendiri yaitu dengan memberikan hak kepada perseorangan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa harus melalui parpol atau gabungan parpol
(d)  Bahwa perkembangan pengaturan pilkada sebagaimana dipraktikkan di Aceh telah melahirkan realitas baru dalam dinamika ketatanegaraan yang telah menimbulkan dampak kesadaran konstitusi secara nasional, yakni dibukanya kesempatan bagi calon perseorangan dalam pilkada. Hal demikian menjadi alasan bagi Mahkamah untuk menguji kembali pasal-pasal UU Pemda yang pernah diuji dalam perkara sebelumnya;
(e)  Bahwa menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dinyatakan dalam Konsideran ”Menimbang” huruf d yang berbunyi, ”bahwa partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi…”, sehingga adalah wajar apabila dibuka partisipasi dengan mekanisme lain di luar parpol untuk penyelenggaraan demokrasi, yaitu dengan membuka pencalonan secara perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(f)   Bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah jabatan perseorangan
(g)  Bahwa dalam perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang menjadi pihak Pemohon adalah pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai perseorangan dan bukan parpol atau gabungan parpol yang semula mencalonkan;
84.  Bahwa dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No 5/PUU-V/2007 dapat ditarik kesimpulan bahwa Mahkamah Konstitusi telah meletakkan norma baru yakni:
(a)  adanya pengakuan konstitusional terhadap dimungkinkannya calon perseorangan dalam pelaksaaan demokrasi di Indonesia;
(b)  harus dibuka kesempatan bagi warga negara yang ingin menjadi calon perseorangannya atau dengan kata lain tidak boleh ditutup kesempatan tersebut;
(c)  ketentuan dalam UU harus menyesuaikan dengan perkembangan baru yang yang dalam hal ini dengan memberikan hak kepada perseorangan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa harus melalui parpol atau gabungan parpol. Hal yang sama semestinya juga berlaku untuk UU PILPRES dimana UU tersebut juga harus menyesuaikan dengan perkembangan baru mengenai diakuinya norma calon perseorangan sebagai bagian dari demokrasi;
(d)  parpol merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi sehingga adalah wajar apabila dibuka partisipasi dengan mekanisme lain di luar parpol untuk penyelenggaraan demokrasi.
(e)  jabatan Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah jabatan perseorangan, sehingga karena memiliki karakteristik yang sama maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden-pun merupakan jabatan perseorangan. Hal ini semakin dikuatkan dengan fakta hukum bahwa perselisihan hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang menjadi pihak Pemohon adalah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai perseorangan dan bukan parpol atau gabungan parpol yang semula mencalonkan;
85.  Norma baru tentang dibukanya kesempatan warganegara untuk menjadi calon perseorangan atau independen inilah yang mesti menjadi landasan prinsip demokrasi di Indonesia. Sehingga, norma ini selayaknya menjadi bahan pertimbangan utama bagi Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan konstitusionalitas calon perserorangan atau independen dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.

2. Perkembangan Hukum dan Norma dalam Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
86.  Bahwa sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, adanya calon perseroangan dalam PILKADA telah menjadi norma hukum yang berlaku di Indonesia.
87.  Norma ini tidak hanya didukung oleh putusan Mahkamah Konstitusi namun juga oleh aturan perundang-undangan dan implementasinya.
88.  Bahwa UU Pemerintahan Aceh telah menetapkan adanya kemungkinan bagi warganegara menjadi calon perseorangan. Pasal 67 ayat (1) huruf (d) UU No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh mengatur bahwa calon perserorangan dapat mengajukan diri sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota.
89.  Bahwa sebagaimana dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No 5/PUU-V/2007, calon perseorangan dalam PILKADA di Aceh tidak bertentangan dengan konstitusi dan telah menjadi norma baru.
90.  Bahwa kemudian UU No 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur tentang calon Perseorangan dalam Pemilihan Kepala Daerah.
91.  Pada implementasinya, di beberapa daerah baik di Aceh maupun di luar Aceh, Komisi Pemilihan Umum Daerah juga telah membuka peluang calon perseorangan dan telah diikuti oleh calon yang memenuhi syarat.
92.  Dengan demikian, perkembangan hukum tentang calon perseorangan mendapatkan legitimasi hukum, baik secara normatif maupun implementatif .

3. Respon Masyarakat Terhadap Calon Presiden Perseorangan atau Independen
93.  UUD 1945 merupakan “the living Constitution” dan konstitusi yang dinamis. Oleh karenanya penafsiran pasal-pasalnya semestinya sejalan dengan penafsiran yang diinginkan oleh masyarakat secara luas, dan bukan penafsiran kelompok kepentingan tertentu.
94.  Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia menginginkan adanya calon perseorangan, tidak hanya pada PILKADA tapi juga pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Hasil temuan survei nasional yang diadakan oleh Lembaga Survei Indonesia pada Juni 2007 dan 2008 (vide Bukti P-7) menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
(1)  Masyarakat yang menyatakan persetujuannya bahwa “ketentuan yang mengatur orang yang ingin mencalonkan diri menjadi Presiden harus dicalonkan oleh parpol, merupakan PENGURANGAN HAK-HAK WARGA untuk mencalonkan Presiden di negeri ini” terdapat 57.7 persen di tahun 2007 dan 53.1 persen di tahun 2008. Sementara masyarakat yang menyatakan ketidaksetujuannya bahwa hal tersebut merupakan pengurangan hak sebesar hanya 28.5 persen (2007) dan 28.6 persen (2008).

(2)  Masyarakat yang menyatakan persetujuanya agar pencalonan Presiden tidak harus hanya oleh parpol tapi dibolehkan juga oleh individu atau kelompok masyarakat di luar parpol sebesar 68.8 persen (2007) dan 64 persen (2008). Sedangkan masyarakat yang menyatakan ketidaksetujuannya sebesar 20.2 persen (2007) dan 20 persen (2008).

(3)  Persentase rata-rata dengan pembulatan persentase yang mendukung calon presiden perseorangan sebesar 67 persen (2007) dan 64 persen (2008). Sedangkan yang tidak mendukung hanya sebesar 24 persen (2007) dan 20 persen (2008).

(4)  Kesimpulan dari temuan ini adalah “umumnya rakyat yang punya hak pilih mendukung calon presiden perseorangan atau independen. Hanya 2 dari 10 warga tersebut yang secara eksplisit menolak calon presiden perseorangan.”
95.  Bahwa pandangan dan pendapat masyarakat ini mencerminkan kehendak rakyat. Rakyat menghendaki dibukanya kesempatan bagi calon Presiden perseorangan atau independen dan berpendapat bahwa ketentuan yang mengatur calon Presiden harus diusulkan parpol merupakan pengurangan hak-hak warga.
96.  Konstitusi harus dibaca lepas dari kepentingan poltik suatu kelompok kepentingan. The living Constitution adalah konstitusi yang dipahami oleh rakyatnya sebagaimana adanya. Fakta dari survey di atas menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat memahami bahwa peluang adanya calon Presiden perseorangan atau independen tidak boleh ditutup, dan penutupan terhadap peluang tersebut merupakan pengurangan hak-hak warga. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU PILPRES yang menutup peluang calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan dan menjadikan pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden menjadi hak eksklusif parpol merupakan pengurangan hak-hak warga negara, yang karenanya bertentangan dengan konstitusi.

4. Kesimpulan Bagian Ketiga
97.  Dengan demikian, perkembangan norma hukum dan penerimaan masyarakat terhadap kemungkinan calon Presiden dan Wakil Presiden independen selayaknya menjadi pertimbangan dikabulkannya permohonan uji materil ini.


VI. KESIMPULAN AKHIR


Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Para Pemohon berkesimpulan sebagai berikut:

1.    Bahwa dibukanya peluang pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen di luar usulan partai politik, tidak bertentangan dengan UUD 1945;

2.    Bahwa Konstitusi menjamin setiap warganegara berhak mendapatkan jaminan persamaan kedudukan dan kesempatan dalam hukum dan pemerintahan tanpa diskriminasi; oleh karenanya, Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 harus dimaknai sebagai ketentuan yang tidak menghalangi adanya calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen;

3.    Bahwa Para Pemohon memiliki hak yang dijamin oleh UUD 1945 yakni jaminan memperoleh persamaan kedudukan dan kesempatan dalam pemerintahan tanpa diskriminasi sebagai wujud kedaulatan rakyat sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 I ayat (2) jo Pasal 1 ayat (2) UUD 1945;

4.    Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU Pilpres telah menutup kemungkinan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau independen. Akibatnya, ketentuan-ketentuan tersebut telah melanggar hak-hak para Pemohon yang dijamin dalam UUD 1945.

5.    Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU Pilpres juga telah melanggar prinsip kedaulatan dan demokrasi sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945 dan ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi.

6.    Bahwa yang menyebabkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas inkonstitusional adalah frasa “yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik” dalam Pasal 1 ayat (4) UU Pilpres, “oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik” dalam Pasal 8 UU PILPRES, frasa “oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR”, dan keseluruhan frasa dalam Pasal 13 ayat (1) UU Pilpres.

7.    Oleh karena itu, frasa-frasa Pasal 1 ayat (4), Pasal 8 dan Pasal 9 UU PILPRES sebagaimana tersebut di atas dan keseluruhan Pasal 13 ayat (1) UU PILRES harus dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat

VII. PETITUM


Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, PARA PEMOHON mohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memutus sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang para pemohon ;
2. Menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945:
–          Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LNRI Tahun 2008 Nomor 176) sepanjang mengenai frasa “yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik”;
–          Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LNRI Tahun 2008 Nomor 176), sepanjang mengenai frasa “oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik”
–          Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LNRI Tahun 2008 Nomor 176) sepanjang mengenai frasa “oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR”;
–          Pasal 13 ayat (1)  Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LNRI Tahun 2008 Nomor 176);
yang hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan menutup hak konstitusional warganegara untuk memilih dan menjadi calon independen dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
3. Menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat:
–          Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sepanjang mengenai frasa “yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik”;
–          Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LNRI Tahun 2008 Nomor 176), sepanjang mengenai frasa “oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik”
–          Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sepanjang mengenai frasa “oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR”; dan
–          Pasal 13 ayat (1)  Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
4. Menyatakan:
–          Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang dikabulkan menjadi berbunyi sebagai berikut: “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden selanjutnya disebut Pasangan Calon adalah peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang telah memenuhi persyaratan.”
–          Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang dikabulkan menjadi berbunyi sebagai berikut: “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan.”
–          Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang dikabulkan menjadi berbunyi sebagai berikut: “Pasangan Calon diusulkan sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
5. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aeque et bono)

Demikianlah permohonan Pengujian Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jakarta, 11 Desember 2008
Hormat Kami
Facebook Twitter Google+
Back To Top